JAKARTA, BL – Di tengah upaya pemerintah untuk melakukan kampanye dan perlindungan Penyu, faktanya pada beberapa wilayah periaran Indonesia, aktivitas dan ekspolitasi terhadap hewan jenis ini masih marak dilakukan.
Salah satunya di wilayah perairan Maluku, tepatnya di Kepulauan Tanimbar (KT), Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Masyarakat di Kepulauan Tanimbar secara terang-terangan memanfaatkan penyu hijau menjadi bahan konsumsi.
Penyu hijau yang bernama latin Chelonia mydas ini umumnya digunakan dalam acara-acara adat, mulai dari acara pernikahan, syukuran, hingga upacara kematian, penyu hijau masih sering dijadikan salah satu menu hidangan.
Tidak hanya itu, di beberapa pulau kecil telur-telur penyu hijau juga terkadang menjadi santapan masyarakat sehingga generasi penyu hijau baru berkurang. Padahal sebenarnya, ketersediaan jenis pangan lainnya seperti ikan dan udang Kepulaaun Tanimbar masih terbilang tinggi, sehingga mereka tidak seharusnya mengekspolitasi penyu hijau sebagai bahan konsumsi.
Selain itu juga, ada segelintir masyarakat yang menangkap penyu hijau untuk dijual karapasnya secara diam-diam kepada orang Cina, Taiwan, Singapura, serta Hongkong, namun tidak dalam jumlah yang pasti dengan harga yang tinggi. Diperkirakan sekitar 400-500 ekor penyu per tahun menjadi korban akibat eksploitasi oleh masyarakat setempat.
Maluku dikenal memiliki budaya dengan kearifan lokal yang tinggi terhadap lingkungan, yaitu budaya ‘Sasi’. Menurut kepercayaan masyarakat Maluku, Sasi memberlakukan sanksi langsung dari Tuhan terhadap siapapun agar tidak mengeksploitasi suatu jenis sumberdaya alam secara lokal sehingga jumlahnya bisa dipertahankan bahkan hingga surplus.
Sayangnya, sasi tidak pernah diberlakukan untuk penangkapan penyu hijau. Di samping itu, nampaknya program konservasi yang dijalankan oleh pemerintah daerah di Kabupaten Maluku Tenggara Barat juga belum bisa menjangkau upaya peningkatan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya perlindungan terhadap fauna langka seperti penyu hijau serta pentingnya peran penyu hijau dalam ekosistem.
Pada tahun 1987, melalui sidang internasional di Kanada, IUCN (International Conservation of Nature) melaporkan bahwa penangkapan penyu di Indonesia mencapai 30.000 ekor per tahun dan Pemerintah Indonesia merespon dengan diberlakukannya undang-undang pelarangan pemanfaatan penyu secara nasional melalui UU No. 5 tahun 1990.
Meskipun demikian, kenyataannya masyarakat masih kurang peduli terhadap kebijakan tersebut. Menyikapi hal tersebut pemerintah Indonesia seharusnya lebih mengoptimalkan upaya perlindungan Penyu pada lokasi yang potensial seperti di Pulau-Pulau Kecil Terluar di Maluku.
Diperlukan upaya penyuluhan serta pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat di Pulau-Pulau Kecil terluar. Disamping itu, regulasi tentang pemanfaatan Penyu ditingkat lokal harus didorong kehadirannya sehingga memberikan kepastian pengelolaan bagi masyarakat. Jika penangkapan terhadap penyu hijau terus berlanjut tanpa pengaturan, maka kita hanya menunggu waktu hingga semua jenis penyu hijau yang ada di sekitar Kepuauan Tanimbar akan punah. (Moh Abdi Suhufan).