Aksi para aktivis lingkungan hidup yang menolak rencana pembangunan PLTU Batang. Foto : JIBI |
JAKARTA, BL-Perwakilan warga Batang didampingi oleh LBH Semarang, Greenpeace Indonesia dan YLBHI hari ini di Jakarta mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara (PLTU) di Batang, Jawa Tengah.
Rencana pembangunan PLTU telah menimbulkan berbagai ekses lingkungan dan sosial yang negatif terhadap warga sekitar, dan juga akan melepaskan emisi karbon hingga 10,8 juta ton per tahun. Kondisi ini dipandang oleh organisasi-organisasi tersebut tidak sejalan dengan komitmen Presiden SBY untuk mengurasi emisi gas rumah kaca Indonesia yang menjadi penyebab perubahan iklim
Pemerintah menunjuk PT. Bhimasena Power Indonesia, konsorsium yang terdiri dari tiga perusahaan yaitu Adaro Power, J-Power, dan Itochu sebagai pihak yang akan membangun PLTU Batubara berkapasitas 2000 megawatt di pesisir Ujunggnegoro-Roban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. PLTU Batubara ini diklaim sebagai PLTU yang terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Lima desa di Batang akan terkena dampak dari proyek ini, antara lain Desa Karanggeneng, Roban, Ujungnegoro, Wonokerso, dan Ponowareng. Proyek raksasa ini akan menggunakan lahan seluas 370 hingga 700 hektar, melahap lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis seluas 124,5 hektar dan perkebunan melati 20 hektar, sawah tadah hujan seluas 152 hektar, dan yang paling mengejutkan adalah PLTU ini akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, yang merupakan kawasan kaya ikan dan terumbu karang, kawasan yang menjadi wilayah tangkapan ikan nelayan dari berbagai wilayah di Pantai Utara Jawa.
Batubara merupakan bahan bakar fosil terkotor, selain menjadi penyumbang utama emisi karbon penyebab perubahan iklim, pembakaran batubara di PLTU juga melepaskan berbagai polutan beracun ke udara seperti NOx, Sox, PM 2,5 dan Mercuri. Polutan-polutan beracun ini menyebabkan berbagai dampak serius bagi kesehatan terhadap warga disekitar PLTU.
“Sikap pemerintah yang tetap bersikeras melanjutkan rencana pembangunan PLTU Batubara di Batang, menunjukkan bahwa pemerintah menempatkan keselamatan warga di bawah kepentingan pengusaha, rencana ini juga bertolak belakang dengan komitmen Presiden SBY untuk mengurangi emisi karbon dari Indonesia” Kata Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia dalam keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com.
Menurut perhitungan yang dilakukan Greenpeace, jika rencana pembangunan PLTU Batubara raksasa ini dilanjutkan, maka PLTU Batang akan melepaskan emisi karbon sebesar 10.8 juta ton CO2 pertahun. PLTU Batubara ini juga akan melepaskan polutan-polutan beracun lain dalam jumlah yang sangat besar, seperti SOx sebesar 16200 ton pertahun, NOx sebesar 20200 ton pertahun, dan PM 2,5 sebesar 610 ton pertahun.
Selain mengancam kelestarian lingkungan dan kesehatan warga sekitar, dalam proses pembangunannya PLTU Batang juga telah menimbulkan berbagai ekses negatif terhadap warga yang menentang keras rencana pembangunan proyek raksasa ini.
Ada 7 orang warga Batang yang dikriminalisasi oleh pemerintah akibat keberatan terhadap rencana pembangunan PLTU Batang yang berdampak lingkungan yang besar. Kelima orang yang diadili di Pengadilan Negeri Semarang telah mendapatkan vonis yang beragam. Casnoto dan M.Ali Tafrihan mendapatkan putusan bebas karena mereka tidak terbukti bersalah, kemudian yang lain untuk Riyono, Kirdar Untung dan Sabarno mendapatkan putusan pidana penjara selama 5 bulan 5 hari dipotong masa tahanan selama 5 bulan 4 hari maka ketiganya bebas hari ini.
Kriminalisasi yang dilakukan pemerintah terhadap 7 orang warga Batang ini sebuah ketidaktaatan pemerintah terhadap UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena di dalam pasal 66 yang berbunyi, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” dan jelas kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia”. Kata Wahyu Nandang Herawan, Staff LBH Semarang. (Marwan Azis).