PEKANBARU, BL- Lagi-lagi APP dan APRIL terkait kasus hukum, kali ini kedua group perusahaan tersebut dijerat dalam kasus korupsi kehutanan di Riau oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan Gubernur Riau, HM Rusli Zainal dan sejumlah pejabat tinggi.
Fakta menarik lainnya, dari 14 perusahaan tersebut terdapat beberapa perusahaan yang memperoleh sertifikat dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), salah satu alat atau aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai upaya perbaikan sistem tata kelola kehutanan di Indonesia. Inilah yang membuat JPIK (Jaringan Pemantau Independen Kehutanan) mempertanyakan sertifikat yang didapat perusahaan itu serta pihak-pihak yang mengeluarkan sertifikasi tersebut.
Sumber : Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) |
Berdasarkan data dan informasi yang dihimpun oleh Focal Point Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Provinsi Riau yang selama ini fokus dalam pemantauan SVLK, dari 14 perusahaan tersebut, ada 3 perusahaan yang mendapatkan sertifikat dalam Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PK-PHPL) dan 7 perusahaan yang memperoleh Sertifikat dalam Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Semua perusahaan tersebut tergabung dalam Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL) dan Asia Pulp & Paper (APP) group.
Focal Point JPIK Riau, Zainuri Hasyim dalam keterangan persnya yang diterima Beritalingkungan.com (27/2) mengungkapkan sejak tahun 2010 JPIK Riau telah melakukan pemantauan terhadap perusahaan yang akan melaksanakan penilaian terhadap SVLK,
Sumber : Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) |
“Kami telah melakukan pemantauan terhadap beberapa perusahaan yang bermasalah tersebut, antara lain Sertifikasi PHPL atas PT. Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) dan PT. Arara Abadi. Dalam proses pemantauan, kami kesulitan memperoleh data dan informasi atas proses sertifikasi dan hasil atas sertifikasi tersebut.”jelasnya.
Zainuri menambahkan dari hasil pemantauan, terdapat permasalahan atas kinerja perusahaan baik dari aspek prasyarat, ekologi dan sosial yang belum tuntas dan terindikasi ditutupi oleh lembaga yang melakukan penilaian dan perusahaan yang dinilai.
“Indikasi atas adanya permasalahan atas kinerja perusahaan ini menguat saat KPK membuka kembali kasus ini. Oleh karena itu, terkait sertifikat SVLK yang diterima perusahaan ini harus dipertanggungjawabkan, tidak hanya oleh perusahaan tetapi juga lembaga sertifikasi/penilai yang telah menerbitkan sertifikat tersebut. Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan Kementerian Kehutanan juga turut bertanggung jawab atas hal ini,” ujar Zainuri Hasyim.
Sementara itu Dinamisator Nasional JPIK, Abu Meridian mengungkapkan JPIK selalu mengupayakan dalam forum perumusan aturan SVLK agar akar permasalahan di sektor kehutanan yaitu proses perizinan harus termasuk dalam salah satu verifier dominan (utama) bukan menjadi verifier co-dominan (penunjang) dalam penilaian pada SVLK.
“Bagaimana kita bisa berhasil dalam melakukan perbaikan tata kelola kehutanan kita, jika akar permasalahan tidak menjadi salah satu aspek yang penting untuk dinilai dalam SVLK ini,” kata Abu.
Abu juga menambahkan, kasus yang terjadi di Riau ini memperlihatkan pada semua pihak bahwa masih terjadi praktek-praktek yang tidak sehat dalam proses perizinan di sektor kehutanan yang melibatkan pemerintah baik pusat maupun daerah.
JPIK akan mendorong aspek perizinan menjadi bagian penting atau wajib dalam proses penilaian SVLK termasuk yang berkaitan dengan proses memperoleh izin tersebut sehingga terbitnya SVLK tidak menjadi legitimasi perusahaan atas apa yang telah mereka perbuat.
“Kita lihat apa yang terjadi di Riau dengan adanya dugaan suap (korupsi) dalam proses perizinan di sektor kehutanan adalah bukti bahwa diperolehnya sertifikat SVLK-baik sertifikat-PHPL dan sertifikat-LK-terhadap beberapa perusahaan HTI di Riau cacat secara penilaian. Sudah seharusnya kasus ini menjadi contoh untuk perbaikan SVLK terkait aspek perizinan, agar SVLK menjadi kredibel.” (Marwan Azis).