JAKARTA, BL- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyambut baik usulan Kementerian Lingkungan Hidup untuk meratifikasi Protokol Nagoya demi perlindungan sumber daya genetik Indonesia.
Hal tersebut Ir Satya Widya Yudha MSc, Anggota DPR Komisi VII dalam sebuah diskusi yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup di Hotel Bidakara, Jakarta (5/2). Menurutnya, Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki potensi besar dalam penyedian sumber daya genetic memiliki peran cukup strategis dalam proses negosiasi dan adopsi Protokol Nagoya bersama-sama dengan negara lainnya. Saatnya Indonesia memiliki payung hukum khusus yang nantinya menjadi pijakan dalam menyusun kebijakan mengenai sumber daya genetik nasional.
DPR lanjut Satya, sangat mendukung untuk segera meratifikasi Protokol Nagoya dalam bentuk Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Genetik (RUU SDG). Saat ini prosesnya terus berjalan dengan melibatkan stake holder untuk memberikan masukan yang sangat penting dalam RUU tersebut.
Sayta berjanji akan mengupayakan agar draf undang-undang ratifikasi Protokol Nagoya bisa segera terwujud pada bulan Mei 2013 mendatang. “Protokol Nagoya harus segera disahkan karena kekayaan alam Indonesia termasuk yang paling besar di dunia, sementara praktik pembajakan sumber daya genetik semakin marak terjadi,”tuturnya.
Satya mencontohkan kasus flu burung. “Saat itu kita sudah rajin mengirim sampel virus tersebut ke laboratorium di luar negeri, tetapi begitu vaksin itu jadi dan diperjualbelikan, kita mau mengakses saja tidak boleh,”ungkapnya.
Dalam kesempatan tersebut, Satya juga mengingatkan perlunya penyusunan data base kekayaan hayati Indonesia, dengan cara mengiatkan upaya riset mengenai keenaragaman hayati secara massif dengan melibatkan pihak perguruan tinggi.
“Selama ini kekayaan hayati kita, telah dirampok secara intelektual karena banyak peneliti luar negeri yang datang sebagai turis tetapi kemudian mematenkan sumber daya hayati yang nilainya bisa mencapai milyaran rupiah,”ujarnya.
Seraya menambahkan, RUU Sumber Daya Genetik akan dipadukan dengan Rancangan Undang-Undangan Masyarakat Adat, supaya masyarakat adat bisa berperan dalam memproteksi kekayaan hayati Indonesia
Hal senada juga disampaikan Pakar hukum Universitas Padjadjaran Miranda Risang Ayu SH, LLM, PhD. Menurutnya, selama ini boleh dibilang tidak berdaya karena hal tersebut secara legal diperbolehkan. Artinya, harus ada dasar hukum yang dibentuk untuk mencegah praktik-praktik tersebut terulang.
“Sebenarnya mereka bisa dibilang sebagai penyolong legal,”jelasnya. Ada pintu masuk masuk dipakai pihak asing mencuri kekayaan hayati Indonesia lanjut Miranda, yaitu lewat jalur wisata dan pemberian beasiswa kepada peneliti Indonesia, kemudian mamatenkan hasil disertasi mereka diperguruan tinggi asing.
Menurut Miranda, ratifikasi Protokol Nagoya akan memberikan kekuatan hukum bagi Indonesia dan meminisir angka pencurian kekayaan hayati. “Protokol ini diharapkan supaya Indonesia sebagai negara penghasil bisa mendapatkan keuntungan, misalnya transfer teknologi dari negara pengguna yang biasanya adalah negara maju,”jelasnya.
Sementara Arief Yuwono, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Lingkungan dan Perubahan Iklim menjelaskan, Protokol Nagoya penting bagi Indonesia oleh karena protokol ini sebagai instrument untuk mencegah pencurian sumberdaya genetik (biopiracy).
Pemerintah Indonesia telah menandatangani Protokol Nagoya, sebuah perjanjian internasional di dalam kerangka Konvensi Keanekaragamah Hayati (Convention on Biodiversity). Protokol Nagoya mengatur mengenai perlindungan terhadap kekayaan keanekaragaman hayati dan menjamin pembagian keuntungan bagi pemilik sumberdaya genetik seperti Indonesia.
Penandatanganan dilakukan Menteri Lingkungan Hidup yang saat itu dijabat Prof. Dr. Gusti Muhammad Hatta mewakili Pemerintah Indonesia bertepatan dengan High-Level Segment Pertemuan ke 19 United Nations Commission on Sustainable Development (UN-CSD) bertempat di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, AS, pada tanggal 11 Mei 2011.
Protokol ini akan mulai diberlakukan setelah 50 negara meratifikasinya. Sampai saat ini, dari 193 Negara anggota Konvensi Keanerkaragaman Hayati, telah ada 92 negara yang menandatangi termasuk Indonesaia dan baru 14 negara yang meratifikasinya. (Marwan Azis).