JAKARTA, BL- Ribuan orang berduyun-duyun berjalan menuju posko pengungsian. Air keruh berwarna coklat dan digenangi minyak merendam mereka sampai ke pinggang, anak- anak kecil terpaksa di gendong di pundak, kalau tak mau digendong anak-anak dibiarkan berenang .
Barang-barang berharga seperti lemari pendingin, motor, dan tas jinjing terlihat dibawa dengan gerobak, baskom besar, atau yang kebetulan suaminya berprofesi sebagai nelayan barang-barang bisa ditaruh di sebuah sampan kecil. Itulah keadaan di sepanjang Jalan Muara Baru Raya, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara,Sabtu pagi (19/1).
Kalau di Jalan Muara Baru Raya air baru setinggi pinggang, di gang-gang sempit di pinggir Jalan Muara Baru Raya, Gang Mesjid misalnya, air sudah setinggi kepala orang dewasa bahkan lebih.”Di gang-gang sih airnya udah tinggi, kaki udah gak bisa napak, makanya ngeri kalau mau keluar juga,” ujar seorang warga Gang mesjid dari atap sebuah rumah. Warga disana tak bisa keluar dari rumah, sudah tiga hari mereka tak dapat pasokan makanan. Akses yang susah tidak memungkinkan juga relawan masuk karena jalanan yang begitu sempit. Hari itu, informasi yang sampai ke relawan, seorang anak bayi berumur dua minggu kedinginan, tidak bisa keluar rumah karena air terus meninggi.
Empat orang relawan dan beberapa warga setempat mendayung selama hampir dua jam dari genangan air di depan Rumah Sakit Atmajaya Pluit menuju ke Gang Mesjid, Kampung Muara Baru. Sampai di depan pintu masuk gang, perahu karet yang ditumpangi relawan tak sanggup melewati jalan kecil itu. Terpaksa warga menjemput bayi kecil kedinginan itu bersama ibunya dengan sampan buatan sendiri yaitu dari sebuah susunan bongkahan kayu bekas pakai yang digabung dengan sterofoam berukuran 1,5 meter x 1 meter yang ditaruh diatas kayu. Bayi dan sang ibu naik ke sampan itu sambil beberapa warga menutunnya sampai ke perahu relawan. Bayi itu pun selamat sampai ke posko pengungsian untuk diberi tindakan medis lebih lanjut.
Saat gelap sudah mulai turun, para relawan kembali mengevakuasi korban banjir, kali ini di daerah Rawa Bebek . Dibutuhkan waktu lebih dari dua setengah jam untuk sampai disana, kondisi jalan yang gelap gulita dan truk-truk besar yang mogok melintang-lintang di jalanan menyusahkan relawan membawa arah perahu. Setelah sampai di perempatan lampu merah Rumah sakit Pluit, seorang perempuan bertubuh kurus dan berambut pendek datang. ,”Maaf banget ya, baru saja ibunya meninggal, kita terlambat,” ujar Koordinator wilayah Rawa Bebek dari Jaringan Rakyat Miskin Kota (JMRK), Lupus. Seorang perempuan berumur 50 tahun meninggal karena asma, dua jam sebelumnya lupus menelpon relawan, karena akses yang begitu susah, sayang satu nyawa keburu hilang.
Sepenggal kisah itu menjadi bagian yang memilukan dari bencana banjir besar yang kerap kali jadi langganan di Ibukota Jakarta, “Tahun 2007 banjir juga besar , tapi tahun ini lebih tinggi airnya,” ujar Ketua RT 05 RW 09 Kampung Muara Baru, Sanikin.
Tidak hanya di Kampung Muara Baru dan Rawa Bebek yang kena imbas Banjir Jakarta kali ini, Pluit dalam tempatnya oran-orang kaya juga turut kena sapa banjir. Rumah rumah besar dengan pilar-pilar bergaya romawi dan pagar besi tinggi yang menjulang tergenang air sama tingginya seperti di Muara Baru, warga perumahan-perumahan elit itu terpaksa meninggalkan rumah mewahnya karena air tidak kunjung surut. Di rumah-rumah mewah itu yang tersisa hanya pembantu rumah tangga yang diperintahkan jaga rumah sedangkan majikannya pergi mengungsi.
Sampai hari keempat banjir menerjang Jakarta Utara khususnya daerah Pluit dan Muara Baru, belum kunjung surut padahal sudah dua hari hujan tidak turun dan sinar matahari sedang kencang-kencangnya. Sebagian warga Jakarta Utara memang sudah biasa hidup dengan genangan air laut yang pasang, penderitaan mereka lengkap karena disana bukan hanya tanahnya yang turun 10 centimeter tiap tahun tapi muka air laut ikutan naik 0.57 cm setiap tahunnya.
Banjir Jakarta Bukan Banjir Kiriman
“Daerah Gambir ke Utara itu adalah memang dataran banjir, termasuk Pluit dan sekitarnya, ” ujar Deputy Chairman for Earth Sciences Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jan Sopaheluwakan di Jakarta, Rabu siang (23/1). Menurut Jan, banjir di Jakarta bukan banjir kiriman dari Bogor tapi banjir yang lahir sendiri, “Tanah di Pluit dan Muara Baru itu gradien tanahnya paling rendah se-Jakarta,” katanya.
Jan mengatakan dari Jaman Belanda, Jakarta sudah terkena Banjir. Orang Belanda membabat pohon-pohon penyerap air hujan di Puncak, lalu ditanami tanaman teh, gantinya mereka membangun Kanal Banjir Barat yang dibuat tahun 1922,” Tapi, Kanal Banjir Barat ini hanya melindungi daerah Menteng dan sekitarnya saja, makanya kalau Banjir terjadi Daerah Menteng akan kena belakangan,” ujarnya.
Pantai Indah Kapuk (PIK), Jan mengatakan, sebenarnya adalah yang daerah paling rendah di Jakarta Utara. Menurut Jan, Pluit dan Muara Baru terkena imbas banjir karena efek Pantai Indah Kapuk yang tanahnnya ditinggikan sehingga air akan tumpah ke daerah sekitar, seperti Pluit dan Muara baru, “Bayangkan PIK itu dulu bentuknya cekung seperti mangkok, lalu dirubah menjadi mangkok yang dibalik, kalau hujan banjirnya ya ke daerah sekitarnya.” Daerah PIK memang menjadi incaran banyak orang, disini air tanah dengan kondisi yang baik bisa ditemukan di 10 hinga 15 meter di dalam tanah.
Selain alasan tersebut, pennurunan tanah di daerah Pluit sampai 2009 saja sudah turun 41 centimeter dari permukann laut . Pluit dan Muara Baru, lanjut Jan, tanahnya adalah tanah reklamasi yang belum dikonsolidasi, “Pemerintah sebenarnya sia-sia membuat tanggul disini karena tanahnya akan turun terus setiap tahun,” ujar Jan. “Diperkirakan sampai tahun 2025 tanah di daerah akan turun 40,65 cm lagi.” BELLINA ROSELLINI