SEMARANG, BL-Maraknya perambahan hutan oleh pendatang di Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah mengakibatkan tanaman rotan di hutan menipis.
Keadaan seperti itu terutama terjadi di Desa Tambak Baja I. “Lima tahun lalu kami bisa memproduksi 12 ton tiap dua tahun. Sedangkan kini, empat ton saja untuk waktu yang sama,” kata Herline (72 tahun), pengrajin rotan yang merupakan salah satu peserta Kongres Asosiasi Wirausaha Kehutanan Masyarakat Indonesia (AWKMI), di Semarang (23/6).
Berkurangnya hasil produksi rotan ini, menurut Herline, akibat makin maraknya perambahan kawasan hutan oleh para pendatang. Keadaannya makin memburuk karena para pendatang ini membuka hutan untuk bertani sayuran. Dan mereka menggunakan pupuk kimia butan pabrik untuk mendorong pertumbuhan sayuran.
“Rotan makin menghilang. Sifat tanaman rotan itu perlu waktu lama untuk tumbuh menadi dewasa. Dalam keadaan normal saja kami hanya bisa memanen rotan tua. Sekarang ditambah lagi masalah baru,” kata Herline.
Di desa tersebut, masyarakat setempat memiliki aturan khusus dalam memproduksi rotan. Di situ ada pembagian peran yang jelas antara perempuan dan laki-laki dalam pengerjaan rotan. Kaum pria memotong rotan ke hutan dan membersihkannya. Sedangkan perempuan mewarnai bahan baku hingga menganyamnya menjadi tas dan bentuk kerajinan lainnya. “Kebiasaan ini patut dicontoh untuk mensetarakan peran antar jender,”ujarnya.
Namun pembagian peran yang setara kini hanya dipatuhi kaum tua. Kaum mudanya telah banyak berubah dari kebiasaan. Termasuk kebiasaan baru kaum muda yang cenderung instan, tambah Herline. Mereka kini hanya menjual rotan mentah tanpa mengolahnya, budaya menganyam, kini jarang ditemui, lanjut Herline.
Herline berharap, kongres AWKMI ini juga mempromosikan budaya lokal. Menurutnya, dengan menganyam menjadi kerajinan, petani bisa meningkatkan nilai dari rotan. Jadi, tidak hanya bergantung pada rotan sebagai bahan mentah. (Annisa Yuniar)