Penghancuran hutan alam yang diduga dilakukan oleh penyuplai kayu Asia Pulp and Paper terpantau dari udara di areal Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Jambi. Foto : Kemal Jufri/Greenpeace. |
JAKARTA, BL-Komitmen Asia Pulp & Paper (APP) yang diumumkan pekan lalu (15/5) untuk menghentikan sementara pembukaan hutan di dalam konsesinya dinilai hanya sebagai upaya pencitraan belaka.
Hal tersebut disampaikan lembaga konservasi WWF menanggapi klaim moratorium yang disampaikan pihak APP pekan lalu.
WWF menilai, upaya tersebut hanya akan membawa dampak yang sangat kecil bagi perlindungan hutan alam dan konservasi harimau Sumatera di habitat alaminya.
Data-data yang dikumpulkan WWF di Riau menunjukkan bahwa lokasi-lokasi yang diklaim APP akan dihentikan pembukaan hutannya untuk sementara waktu (moratorium) tersebut, memang merupakan kawasan-kawasan yang sudah semestinya dilindungi.
Di dalam Siaran Persnya, APP juga mengatakan akan menghentikan pembukaan hutan alam pada konsesinya yang sudah mendapatkan izin penebangan.
Namun berdasar fakta analisis data WWF mengenai konsesi yang dimiliki APP dan Sinar Mas Forestry di Riau, termasuk konsesi pemasok dan perusahaan joint venture-nya, menunjukkan bahwa APP sebenarnya telah menebang sebagian besar hutan alam di dalam konsesi yang diklaim akan dilindunginya tersebut.
Di Riau, dari total sekitar 206.412 ha sisa hutan alam yang berada di bawah konsesi APP dan atau mitra joint venture-nya pada 2011, hanya sekitar 22 ribu hektar atau 10 persen saja yang mungkin akan terkena dampak kebijakan tersebut, selebihnya (seluas 103.849 hektar) memang harus dipertahankan sebagai hutan alam, karena merupakan kawasan-kawasan yang harus dilindungi.
“Klaim APP untuk melakukan penghentian sementara pembukaan hutan didalam konsesinya hanya salah satu contoh upaya pencitraan belaka,” kata Nazir Foead Direktur Konservasi WWF Indonesia melalui keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.net.
“Untuk kesekian kalinya APP memilih pencitraan atau greenwash daripada melakukan upaya perbaikan praktek pengelolaan kehutanannya” tambahnya.
Analisis yang dilakukan WWF menunjukkan bahwa klaim moratorium yang digembar-gemborkan APP tersebut hanya akan membawa dampak yang sangat kecil, karena faktanya hutan alam yang hilang di konsesi APP hingga tahun 2011 telah mencapai 713.383 ha atau hampir seluruh hutan alam di dalam konsesi yang dimilikinya secara langsung atau pada konsesi mitranya di Riau.
Celah lainnya adalah bahwa kebijakan APP ini tidak mencakup konsesi hutan alam milik pemasok kayunya yang tidak secara langsung dimiliki oleh APP tetapi terkait jelas dengan perusahaan tersebut. Dengan demikian dampak moratorium yang diklaim APP untuk melindungi hutan alam yang masih tersisa menjadi tidak signifikan.
Jika APP benar-benar berniat untuk mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkannya terhadap hutan alam lanjut Nazir, perusahaan tersebut semestinya berhenti menerima pasokan kayu hutan alam atau mengeluarkan kebijakan moratorium penggunaan kayu alam untuk mensuplai produksi pulp atau bubur kertas di semua pabriknya.
Pengamatan WWF menunjukkan bahwa, pada tahun 2011 dari sekitar 44.268 hektar hutan alam yang hilang di konsesi APP di Riau , lebih dari 50 persennya dilakukan oleh pemasok kayu yang tidak secara langsung dimiliki oleh APP. Artinya, perusahaan-perusahaan pemasok tersebut akan terus melakukan penebangan hutan alam karena praktik tersebut tidak termasuk didalam kebijakan moratorium APP. Catatan WWF beserta koalisi LSM di Riau menunjukkan APP bertanggungjawab terhadap hilangnya sekitar 2 juta hektar hutan alam untuk mensuplai kebutuhan pabrik pulpnya..
“WWF akan melihat APP berubah menuju praktik pengelolaan hutan yang berkelanjutan, jika perusahaan tersebut memperluas cakupan kebijakan moratoriumnya meliputi suplai pasokan kayu alam ke semua pabriknya. Hal itu akan membuktikan bahwa APP bersungguh-sungguh berupaya melakukan perubahan nyata di lapangan,” ujarnya. (Marwan Azis).