|
Foto Ilustrasi dampak perubahan iklim. Foto : Ourplanet.org.uk |
BONN, BL-Jelang pertemuan Konferensi Perubahan Iklim di Doha, Desember 2012 mendatang, sejumlah pertemuan mulai digelar. Pertemuan pertama Konferensi PBB Perubahan Iklim Bonn telah dimulai di Bonn, Jerman sejak tanggal 14 Mei hingga 25 Mei 2012.
Menurut informasi yang diperoleh hingga hari ini (23/5), perundingan yang tengah berlangsung masih berdebat di seputar isu prosedural yang belum menyentuh isu substansi, terutama di forum AWG on Durban Platform for Enhanced Action (ADP).
Meskipun demikian terdapat optimisme diantara para pihak bahwa persidangan di minggu ke-2 akan dapat lebih diarahkan untuk melakukan pembahasan rancangan kesimpulan dan keputusan, namun berbagai kalangan dalam pembicaraan di koridor memperkirakan bahwa proses perundingan akan berjalan lambat dalam menghasilkan rancangan tersebut.
“Prioritas pertemuan di Bonn adalah untuk mengidentifikasi isu-isu kunci dari masing-masing ‘Kelompok Isu Utama’ yang wajib diputuskan di COP-18, sehingga proses negosiasinya dapat diteruskan pada jalur perundingan yang sama atau dikembalikan kepada keputusan konferensi para pihak” kata Ketua Delri Rachmat Witoelar melalui keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.net.
Perundingan Bonn dimaksudkan untuk membahas rancangan keputusan yang akan dibahas pada COP-18 di Qatar yang akan berlangusng Desember 2012 mendatang, khususnya pada isu-isu yang harus diselesaikan pada tahun 2012; evaluasi dari 5 jalur proses negosiasi, yaitu SBSTA, SBI, AWG-KP, AWG-LCA, dan ADP, serta pendalaman dan penyamaan persepsi mengenai isu-isu teknis, termasuk definisi, yang dilakukan melalui rangkaian in-session workshop.
Pertemuan Bonn tercatat sebagai pelaksanaan pertemuan pertama dari AWG Durban Platform (ADP), yang merupakan bagian dari keputusan COP-17 di Durban pada tahun lalu, yang memiliki mandat untuk merumuskan rejim baru perubahan iklim global paska 2020.
Pada sidang pembukaan plenary ADP, Indonesia menyatakan harapannya akan hasil yang akan dicapai di bawah ADP, yang salah satu mandat pentingnya adalah untuk merumusan rencana kerja mengenai upaya meningkatkan level ambisi.
“Sebelum ADP membahas substansi agenda yang ada, kiranya perlu ditetapkan terlebih dahulu scope of work dari ADP sebagai landasan dalam merumuskan agenda ADP mulai Bonn sampai Doha dan perundingan tahun-tahun berikutnya” ujar Dubes RI untuk Berlin, Eddy Pratomo, selaku alternate Ketua Delri di pertemuan minggu pertama.
“Kelompok kerja yang baru harus dipercayakan dengan mandat dan peta jalan yang jelas terhadap apa yang harus dilakukan selama proses negosiasi dari sekarang sampai 2015” tambah Eddy Pratomo. Kerangka hukum yang akan dihasilkan di bawah kelompok kerja ini diharapkan akan menciptakan kepastian hukum bagi solusi terhadap masalah iklim global yang di hadapi dunia secara bersama.
Indonesia meminta agar ADP menyepakati mandat perundingan COP-17 dan dapat mengambil keputusan secepatnya mengenai pengaturan tata laksananya. Namun hingga berita ini ditulis belum tercapai konsensus untuk menetapkan Ketua ADP, konsultasi masih terus dilakukan di antara 3 calon, yakni Trinidad + Tobago (GRULAC), India (Asia Pacific Group) dan Norwegia (WEOG).
Selama proses pemilihan ketua belum selesai, maka proses ADP akan dipimpin oleh “chairman interm” yang di tunjuk oleh Presiden COP sampai proses konsultasi selesai.
Dalam mengadopsi agenda ADP, beberapa negara keberatan dan pragmatis terhadap agenda yang dianggap berpotensi meningkatkan level ambisi terutama bagi negara berkembang. Costa rica berinisiatif untuk menyampaikan deklarasi adopsi agenda dan mengajak Indonesia untuk mendukung deklarasi tersebut.
“Indonesia menerima dengan tangan terbuka terhadap semangat untuk mempercepat proses adopsi agenda tersebut. Namun agar kita tidak terjebak ke dalam isu prosedural, maka Indonesia tidak harus turut dalam pernyataan tersebut” ujar Guruh Samudera dari PTRI New York. (Marwan Azis).