Timor Leste-Australia Caplok Blok Migas Laut Timor

Featured Slider Indeks Laut Top Stories

KUPANG, BL-Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni menegaskan sungguh sangat keliru jika Indonesia berencana menjalin kerja sama di bidang minyak dan gas dengan Timor Leste (TL), karena migas yang diklaim negara tersebut adalah milik Indonesia.

“Migas yang diklaim Timor Leste itu sesungguhnya milik rakyat Indonesia yang ada di Timor bagian barat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang harus dirundingkan kembali secara trilateral bersama Australia untuk menetapkan batas maritim yang jelas dan permanen berdasarkan konvensi hukum laut internasional,” kata Tanoni melalui keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.net kemarin.

Tanoni yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) menyampaikan pandanganan tersebut berkaitan dengan agenda kunjungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke wilayah bekas jajahan Portugis itu dalam waktu dekat.

Salah satu agenda yang akan dibicarakan dalam kunjungan kenegaraan tersebut, menurut Menko Perekonomian Hatta Rajasa kepada wartawan di Jakarta, Senin (7/5), menjalin kerja sama di bidang minyak dan gas antara kedua negara.

“Timor Leste sedang kembangkan sektor migas dan mengundang kita untuk investasi. Kita mau masuk ke situ,” kata Rajasa dan menambahkan kerja sama bidang migas yang ditawarkan Timor Leste adalah bagian paket kerja sama ekonomi terpadu (integrated economic development).

Tanoni yang juga penulis buku “Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta” itu mengatakan perairan Laut Timor mengandung cadangan minyak bumi yang sangat besar yang berbatasan langsung dengan wilayah RI dan Australia.

Menurutnya, kekayaan minyak dan gas (migas) di Laut Timor yang terletak di antara Timor Barat Indonesia-Timor Leste dan Australia 85 persen wilayahnya telah dikapling oleh Australia dan Timor Leste.

Sementara 15 persen sisanya, kata Tanoni, masih belum jelas nasibnya karena sampai sejauh ini perundingan batas laut antara Indonesia dan Timor Leste belum dilaksanakan, bahkan seolah dilupakan begitu saja setelah wilayah bekas provinsi ke-27 Indonesia itu menyatakan berpisah dengan NKRI melalui referendum pada Agustus 1999.

“Banyak ladang minyak dan gas bumi bertaburan di Laut Timor, tetapi telah dicaplok dan kemudian diklaim sebagai yurisdiksi Australia dan Timor Leste, meskipun wilayah tersebut juga merupakan bagian dari miliknya Indonesia,” katanya.

Menurut Tanoni, ini sebuah persoalan besar, namun anehnya Jakarta seolah menutup mata atas fakta yang terjadi di Laut Timor dan Provinsi Nusa Tenggara Timur yang sangat kaya akan potensi alam, dijadikan sebagai salah satu provinsi termiskin di Indonesia dalam peta statistik nasional.

Ia mengatakan yang perlu dan pantas dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kunjungan ke Timor Leste nanti adalah membahas perundingan kembali batas maritim di Laut Timor bersama Australia untuk menetapkan sebuah garis batas yang permanen.

“Tidak bisa kita (Indonesia) tunduk kepada Timor Leste yang jelas-jelas telah mencaplok kekayaan migas Indonesia di Laut Timor dengan melakukan sebuah kerja sama. Hal ini sangat memalukan Indonesia sebagai bangsa yang besar, tetapi harus tunduk pada sebuah negara setengah pulau Timor yang dipimpin Taur Matan Ruak dan Xanana Gusmao,” kata Tanoni.

Ia menambahkan sumur-sumur minyak yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Belu, Nusa Tenggara Timur seperti sumur minyak Laminaria, Buffalo dan Jahal, telah diklaim oleh Australia sebagai bagian dari miliknya dan telah diserahkan kepada Timor Leste.Hal yang sama pula terjadi pada lading minyak dan gas Bayu Undan.

“Semua proses itu berjalan mulus tanpa sedikit pun protes dari Indonesia. Kenapa Indonesia selalu mau mengalah dan dipermainkan oleh Timor Leste yang didukung Australia,” kata Tanoni.

Tanoni mencontohkan, tidak tuntasnya penyelesaian petaka tumpahan minyak Montara di Laut Timor sejak Agustus 2009 milik sebuah perusahaan minyak asal Thailand, PTTEP Australasia di bawah lisensi Australia.

“Tragedi Montara telah menyengsarakan para nelayan dan petani rumput laut di tepian pantai pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur, tetapi Jakarta tetap saja diam sampai sekarang sebagai cerminan lemahnya diplomasi kita dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-hak rakyat Indonesia,” ujarnya. (Marwan Azis).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *