Empat Langkah Harimau Rantau Pulang ke Andalas

Hutan Indeks Satwa

Aktivis tim mata harimau Greenpeace. Foto : Greenpeace.
Harimau Sumatera tetap punya etika bahkan saat ia disakiti. Orang Minangkabau menyebutnya Ampek (Empat) Langkah saat Sang Harimau Sumatera sabar menunggu empat langkah menahan sakit sebelum akhirnya bergerak melawan. 
Sejak 20 September 2011, para relawan Greenpeace berpakaian loreng-loreng pun melakukan Perjalanan Ampek Langkah sepanjang Sumatera untuk berteriak minta dunia hentikan pembabatan hutan Andalas. Sudah cukup sabar Sang Harimau disakiti.
Ampek Langkah pertama Greenpeace bermula di Desa Jumroh, Rokan Hilir, Riau. Lima relawan berpakaian kuning loreng-loreng hitam dengan sepeda motor memulai Kampanye Mata Harimau itu. Tapi mereka tak boleh sembarangan. Sosok Harimau Sumatera bagi Rakyat Riau dianggap hewan agung. Rakyat Desa Jumroh biasa memanggilnya “Tok Belang”, bagai menggelari kebangsawan “Datok atau Tok” bagi Raja Hutan berkulit belang-belang itu.
Dan seiring taburan tepung oleh Khalifah Hakim, Tokoh Agama Rokan Hilir ke atas puncak kepala lima relawan Tok Belang, pun Rakyat Desa Rokan Hilir  memberi restu dan doa mereka bagi para relawan. Warga desa ini memang sudah  berkali-kali meminta industri dan pemerintah menghentikan pembabatan hutan adat mereka. Terakhir pada Agustus 2011 mereka ramai-ramai berteriak protes namun bagai tak terdengar.
Pelanggaran membabat Hutan Adat Senepis sudah terbukti membawa petaka bagi Desa Jumroh. Pada 2009, Tok Belang yang kehilangan rumah hutannya, berang  kelaparan dan menerkam seorang bapak dan anak warga desa. Desa Jumroh memang terletak di kawasan blok Hutan Senepis, suaka marga satwa Harimau Sumatera. Namun daerah yang seharusnya jadi rumah aman dan nyaman Tok Belang itu justru mulai terbabat PT Sumatera Gajah Pati dan PT Ruas Utama Jaya, anak perusahaan Asia Pulp & Paper (APP).
“Kami mengirimkan para relawan untuk napak tilas Harimau Sumatera ini, agar dunia bisa melihat sebenarnya masyarakat tak ingin penghancuran Hutan Sumatera, dan  saat industri melakukannya, justru warga desa yang kena getahnya,” kata Zulfahmi, Jurukampanye Hutan Greenpeace.
Hutan Senepis yang berawa gambut itu di lapangan kondisinya sudah menggenaskan. Sebagian besar sudah gundul dan dialihfungsikan menjadi hutan tanaman industri akasia. Bagian lain, sudah berubah jadi kebun sawit. Padahal Kementerian Kehutanan sudah menerbitkan izin prinsip pencadangan untuk hutan seluas 106 ribu hektar itu sebagai kawasan konservasi bagi Sang Tok Belang. Rumah hutannya terbabat habis, Tok Belang yang kelaparan pun kerap mencari makan ke Desa Jumroh. Ternak bahkan manusia.
Dari 2005-2010 saja sedikitnya ada 14 kali Tok Belang menyerang manusia dan  ternak di sana. Dua kali menelan jiwa manusia dan dua lagi korban cacat tetap. Tok Belang tampaknya mulai mencapai titik kesabaran menahan sakit rumah hutannya dibabat hangus.(Veby Mega Indah).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *