Selama pertemuan tahunan para kelompok masyarakat sipil se-Asia Tenggara di Asean People’s Forum, tergiring upaya para aktivis lingkungan menjadikan Asean lebih hijau. Caranya dengan mengusulkan lembaga regional itu menambah satu lagi pilar dalam dasar hukumnya, yaitu lingkungan sebagai Pilar Keempat Piagam Asean. Tapi, apa iya bisa?
Sama seperti kumpulan negara-negara berkembang pada umumnya, Asean tak banyak menaruh perhatian pada isu lingkungannya. Tak ada istilah ekonomi hijau atau pembangunan rendah emisi layaknya Uni Eropa.
Kalau mau mengintip Piagam Asean yang jadi dasar hukumnya lembaga regional Asia Tenggara ini, isu lingkungan juga tak punya tempat khusus.
Dari tiga pilar utama dalam Piagam Asean yaitu Ekonomi, Politik dan Sosial Budaya, para pemimpin negeri ini hanya menempatkan isu lingkungan sebagai salah satu isu di bawah Pilar Sosial Budaya. Ini artinya, saat Asean mulai bersatu menjadi satu kawasan regional, isu lingkungan tidak akan jadi sorotan utama. Wong, isu lingkungan itu cuma masalah sosial budaya Asean, yang peleburannya dianggap akan berjalan secara alami.
“Selama ini integrasi Asean selalu didasarkan lebih pada pemikiran penyatuan ekonomi, tanpa memikirkan bagaimana dampaknya nanti ke lingkungan,” kata Montree Chantawong, aktivis lingkungan dari Save the Mekong.
Memang jika ingin melihat fakta di lapangan, isu lingkungan sangat dekat berimbas kepada kehidupan rakyat Asean. Jadi mungkin tak salah-salah benar jika para pemimpin regional ini memutuskan lingkungan masuk pilar sosial budaya.
Namun Montree mengingatkan, isu lingkungan bukan hanya terbatas pada masalah sosial atau budaya rakyat Asean saja. Isu lingkungan sudah merentang masalah dari kekeringan air, sanitasi yang buruk, demonstrasi anti pembangunan Waduk Xayaburi di Sungai Mekong, perjuangan para masyarakat adat di hutan-hutan Indonesia, sampai kenaikan permukaan air laut yang pelan-pelan menenggelamkan Indonesia, Filipina bahkan Singapura. Yang berarti, lingkungan juga merentang dari isu sosial, ekonomi, budaya hingga politik.
Namun Ketua Komite Utama Asean People’s Forum Indah Sukmaningsih bagai memaklumi kondisi ini. Menurut dia, kondisi negara-negara Asean terlalu beragam secara geografis, kultur bahkan politis. Sehingga wajarlah jika lembaga regional ini pusing menentukan fokus utama untuk misi lingkungannya. Tak lain tak bukan, karena menentukan fokus utama lingkungan menurut Indah, juga bisa berarti menentukan kemana dana donor paling banyak nantinya akan pergi.
Misalnya jika Asean fokus pada isu kehutanan, berarti Indonesia dan mungkin juga Malaysia yang bakal kebagian dana donor paling banyak. Jika isu kelautan yang jadi sorotan, bagaimana pula nasib Laos yang sama sekali tak punya laut? Sementara jika isu Sungai Mekong yang diangkat, hal itu tak akan mempengaruhi Indonesia sebagai dedengkot Asean, Brunei Darussalam si negara kaya energi fosil atau Timor Leste yang sekarang sedang gencar ingin bergabung dengan Asean.
“Yah, kita tahu bersama, inilah yang sering jadi masalah di antara negara-negara Asean,” kata Indah.
Tapi kebingungan Asean menentukan arah misi lingkungan hidupnya inilah yang justru membuat kelompok-kelompok masyarakat sipil cum aktivis lingkungan semakin bersemangat mengusung ide pilar keempat Asean.
Semakin rumit isunya, berarti seharusnya isu lingkungan ini punya tempat sendiri sebagai salah satu pilar utama fokus kebijakan Asean.“Justru dengan sangat beragamnya isu lingkungan Asean, regional ini seharusnya memasukkan isu lingkungan ke dalam pembahasan khusus, yaitu Pilar Keempat Piagam Asean,” kata Montree. Apalagi kata dia, sekarang tak bisa diingkari regional ini sudah merasakan imbasnya perubahan iklim.
Sebetulnya sejak Oktober 2009, para aktivis lingkungan Asean sudah satu suara soal ini. Dalam Asean People’s Forum di Cha-am, Thailand, mereka mulai “berteriak” meminta para pemimpin Asean mendirikan Pilar Keempat Asean. Harapannya dengan menjadi sebuah pilar khusus di Piagam Asean, setiap kebijakan regional ini akan memperhatikan kelangsungan lingkungan, ekonomi, gender, sosial dan keadilan iklim dalam setiap transaksi dan proses yang terjadi di Asia Tenggara. Kebijakan yang dimaksud mencangkup kebijakan politik, ekonomi dan eksplorasi sumber daya alam Asia Tenggara.
Dan dalam Asean People’s Forum di Jakarta kali ini, para aktivis hijau kembali ingin meneruskan misi Pilar Keempat Asean mereka. Fakta Indonesia sebagai negara demokratis yang jadi Ketua Asean, dipandang sebagai kesempatan bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil bersuara lebih lantang. Maklum saja, biasanya mereka terpaksa bungkam tutup mulut seperti yang sempat terjadi saat Vietnam jadi Ketua Asean.
Nah, tahun ini dianggap jadi kesempatan emas. Apalagi baru kali pertama dalam sejarah juga, sebuah forum masyarakat sipil Asean dibuka oleh pejabat tinggi negara. Kehadiran Wakil Presiden Indonesia Boediono membuka Asean People’s Forum di Jakarta, 3 Mei lalu, dianggap sebagai pengakuan akan eksistensi kelompok-kelompok sipi Aseanl yang kebanyakan harus bergerak bawah tanah di bawah pemerintahan otoriter.
Tapi tampaknya perjuangan mereka masih akan panjang. Tahun ini memang para pemimpin Asean bersedia bertemu mendengar usulan para kelompok masyarakat sipil ini. Pertemuannya dijadikan bagian dari Konferesi Tingkat Tinggi Asean ke-18 pula.
Namun Anggota Komite Utama Asean People’s Forum Conseulo Katrina A. Lopa mengaku, kompromi mereka dengan para pemimpin-pemimpin Asean menghantarkan satu keputusan: dalam pertemuan itu nanti, kelompok-kelompok masyarakat sipil ini boleh bicara terbatas satu tema saja, yaitu isu kesehatan.
“Tapi toh, dari isu kesehatan itu kami tetap bisa menariknya ke isu ekonomi, politik, lingkungan bahkan hak asasi manusia,” kata Conseulo, yang akan mewakili kelompok sipil Filipina dalam pertemuan itu. (Veby Mega Indah)**