Sang Penyambung Suara Alam Itu Telah Pergi

Indeks Konservasi
Franky Sahilatua saat tampil di acara ulang tahun ke 28 WALHI. Foto : WALHI
Franky Sahilatua saat tampil di acara ulang tahun ke 28 WALHI. Foto : WALHI

Innalillahi wainnailaihi rojiun.  Indonesia kehilangan satu lagi musisi terbaik, Franky Sahilatua pelantun lagu ‘Perahu Retak’ kini telah meninggalkan kita semua untuk selamanya, menghadap kearibaan Ilahi.

Sedikit mengenang sosok Franky Sahilatua. Awalnya saya mengenal  Franklin Hubert Sahilatua  atau populer dikenal dengan nama Franky Sahilatua karena terbiasa mendengar lagu-lagu balada yang dia nyanyikan bersama Iwan Fals dan Jane.  Ia sangat pandai menggambarkan suasana alam yang damai, hijau, aktivitas keseharian dituangkan dalam bait syair lagunya yang sangat sederhana, namun menyentuh perasaan.

Beberapa kali  saya berkesempatan ketemu, menyapa dan salaman si pelantun lagu ‘Lelaki dan Rembulan’ini diantaranya saat  Konferensi Rakyat Indonesia di Asrama Haji, Pondok Gede Jakarta (1/7/2007), acara tersebut diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) ini, digadang-gadang akan melahirkan sebuah keputusan penting tentang penyelamatan lingkungan baik dari segi politik (inisiasi Green Party) dan kesiapan menghadapi perubahan iklim. 
Dan terakhir ketemu  Franky, saat Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali 2007 lalu.  Kebetulan saat itu ada insiden yang kurang mengenakan yang dialami oleh mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim yang saat itu juga menjadi Ketua delegasi RI dalam COP 13 UNFCCC. 
Awalnya acara berlangsung lancar, karena diawali dengan penampilan Franky Sahilatua yang membawakan beberapa lagu.  Namun tak lama kemudian, setelah  Emil Salim dipersilakan naik panggung,dan baru beberapa saat memulai pidatonya, entah kenapa? tiba-tiba masyarakat dan aktifis yang berkumpul di depan panggung meneriakinya dengan sebutan komprador.  Insiden tersebut itu kemudian menjadi hangat diberitakan  diberbagai media nasional. Namun akhirnya pihak CSF meminta maaf pada Pak Emil Salim atas insiden yang tidak diduga itu.

Kembali ke sosok Franky, sebagai musisi ia selalu didaulat oleh para penggiat lingkungan untuk tampil menyanyikan lagu ciptanya. Seperti halnya Iwan Fals, nampaknya Franky Sahilatua juga sangat senang bila berada di tengah-tengah para pembela lingkungan hidup. Franky pembawaannya ramah, tak heran kalau banyak kawan-kawan penggiat lingkungan dan jurnalis menjadi sahabatnya. Namun sangat kritis bagi penguasa yang korup, tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan  pelestarian lingkungan. 

Saat Konferensi Perubahan Iklim di Bali, Franky juga sempat didaulat berorasi di Kampung CSF Nusa Dua Bali.  Sekelumit kritik pun ia utarakan  kepada pemimpin dunia.“Kita mengetahui bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi semakin luas karena kekuasaan para rezim yang tidak mengenal lingkungan, sehingga membuat lingkungan semakin parah. Hutan dibabat tanpa mengenal habitat dan kearifan yang ada di dalamnya,” kata Franky saat itu.

Bagi saya,  Franky adalah sosok inspiratif yang layak diteladani, konsisten dalam menyuarakan berbagai persoalan lingkungan sehingga layak dijuluki ‘Penyambung Suara Alam’. Seperti halnya Gus Dur,  Franky Sahilatua juga layak disebut sebagai tokoh pemersatu bangsa.
Bait lagu yang Franky ciptakan bersama Iwan Fals, Emha Ainun Najib dan adiknya Jane tidak jauh dari tematik kemanusian dan lingkungan hidup. Memang sejak awal tampil dipublik, lirik lagu karya Franky bersama Jane cenderung pada pemujaan alam, misalnya pada lagu ‘Musim Bunga’ dan ‘Kepada Angin dan Burung’. Namun demikian, seperti kebanyakan penulis lagu balada lain, Franky gemar pula “bercerita” mengenai kehidupan orang sehari-hari, seperti ‘Perjalanan’ atau ‘Bis Kota’. Franky pernah menulis dan menyanyikan lagu-lagu soundtrack untuk film Ali Topan.
Sejak tahun 1990-an hingga sekarang, Franky banyak melibatkan diri  dalam aksi-aksi panggung bertema sosial, lingkungan dan kebangsaan, bahkan diakhir hayatnya masih terdaftar sebagai pengurus organisasi Nasional Demokrat (Nasdem).
Hingga pada 1 Agustus 2010 lalu Franky sakit dan dibawa ke Singapura untuk mendapatkan perawatan. Menurut dokter yang merawatnya, Franky diagnose menderita kanker sumsum tulang belakang.  Menjelang kepulangannya ke Indonesia, kaki Franky malah lumpuh. Namun itu tak menyurutkan semangatnya untuk bertahan hidup.  Sejumlah sahabat pun termasuk anak jalanan berjibaku dan patungan menggalang dana demi kesembuhan pelantun ‘Perahu Retak’ itu agar bisa kembali beraktivitas biasa.
Setelah 7 bulan dirawat di Singapura, pada 17 Februari 2011 Franky kembali ke Tanah Air. Kesehatannya pun naik turun hingga pada 16 April Franky dilarikan ke Rumah Sakit Medica Permata Hijau, Jakarta Selatan. Namun Tuhan  rupanya berkehendak lain, Franky menghembuskan napas terakhirnya pada Rabu (20/4/2011) pukul 15.15 WIB di usia ke-57 tahun.
Bertahun-tahun Franky menangisi kondisi bangsa ini dan meratapi hutan kita dibakar dan ditebangi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Franky Sahilatua bersama Iwan Fals mengabdikan tangisannya lewat sebuah lagu berjudul “Menangis” yang sangat menyentuh perasaan.  Kini bangsa ini menangisi kepergian sosok sang penyambung suara alam dan nurani rakyat itu. Selamat jalan Bung Franky… Karyamu tetap kami kenang.*** (Marwan Azis).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *