Hamparan perkebunan tebu di Brasil. Foto : sweeteralternative/flick. |
Brasil tak hanya jago dalam urusan mencetak pemain sepak bola terbaik dunia seperti Ronaldo, Negeri Samba ini juga merupakan pelopor penggunaan bahan bakar kendaraan berbasis tebu dengan produk bioetanolnya.
Sejak tahun 1500-an, tanaman tebu telah menjadi tulang punggung perekonomian negara yang terletak di wilayah Amerika Latin itu. Tebu juga merupakan komoditas pertama yang diekspor Brasil pada 1532, ketika negara itu masih diduduki Portugis. Penggunaan bahan bakar etanol (alkohol) yang diolah dari tebu untuk kendaraan, baru terjadi di awal dekade 1930-an, seiring masuknya produk otomotif ke negara tersebut.
Pada 1975, krisis minyak yang melanda dunia, mengilhami pemerintah Brasil untuk meluncurkan program ambisius yang dinamai Pro-Alcool (Program Alkohol Nasional). Fokus program itu adalah menggantikan bensin yang notabene berasal dari minyak, dengan bioetanol yang diproduksi di dalam negeri. Dengan demikian. Brasil diharapkan tidak lagi perlu bergantung pada suplai minyak yang didominasi produsen dari negara-negara Timur Tengah.
Untuk memuluskan program tersebut, pemerintah Brasil, kala itu, menerapkan berbagai langkah komprehensif untuk menstimulasi minat masyarakat. Misalnya, subsidi bagi petani tebu maupun usaha penyulingan tebu. Pemerintah juga memberikan insentif fiskal bagi kendaraan berbahan bakar altematif, dan menyubsidi harga bioetanol lebih murah daripada bensin. Sekitar 20 persen kebutuhan energi negara itu diperoleh dari energi terbarukan.
Tebu yang diproduksi menjadi “biofuel” untuk bahan bakar alternatif untuk truk dan kendaraan bermotor di Brazil, ternyata setelah dilakukan penelitian diketahui memiliki efek samping bermanfaat, yakni mendinginkan suhu udara setempat, menurut laporan sejumlah ilmuwan akhir pekan lalu.
Para peneliti mengingatkan bahwa itu bukan berarti menggantikan hutan Amazon atau tumbuhan alami lainnya dengan ladang tebu. Manfaat tersebut muncul saat tebu diperkenalkan kepada perladangan yang ada, menggantikan padang rumput atau ladang lain seperti kedelai.
Tebu ditemukan semakin bermanfaat karena kemampuan memantulkan sinar matahari dan “berkeringat” embun dingin ke udara, kata pemimpin peneliti Scott Loarie dari Institut Carnegie untuk Ilmu Pengetahuan. Tanaman menyerap kadar air dari tanah dan melepaskan ke udara sebagai proses fotosintesis, kata Loarie melalui telepon, dan tanaman tebu terhitung efisien dalam proses embun dingin itu.
“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa dengan tebu, kadar embun dingin dari tanaman itu lebih baik dibanding albedo (besar pantulan matahari),” katanya, berbicara dalam penelitian yang disiarkan melalui Internet di Jurnal Nature Climate Change yang juga dilansir Antara..
Tebu digunakan sebagai bahan bakar alami yang memberi tenaga seperempat kendaraan bermotor di Brazil, secara bersamaan membantu mengurangi pengeluaran gas karbon dioksida ke atmosfer, yang mempengaruhi iklim global. Brazil selama ini dianggap sukses mengembangkan energi terbarukan sebagai alternatif bahan bakar fosil yang memanaskan iklim.
Karena efisiensi tanaman penghasil gula itu dalam melepaskan kadar air dingin, hal tersebut juga menurunkan suhu udara setempat sebesar 0,93 derajat Celsius dibanding ladang lain atau padang rumput. Penanaman tebu dinilai masih belum mendinginkan udara sebagaimana perladangan lain saat digunakan untuk menggantikan tanaman alami.
Para peneliti menemukan efek pemanasan lokal itu mencapai 1,55 derajat Celsius. Satu kelebihan dari penanaman tebu untuk “biofuel” di Brazil ialah mempersingkat waktu pengembalian karbon atau “carbon payback time.”Pengembalian itu merupakan cara untuk menghitung berapa lama untuk menghapus emisi karbon dioksida berlebih di atmosfer, kata Loarie.
“Bila kami memangkas satu hektar hutan Amazon, seberapa besar karbon yang kami lepas ke atmosfer dan berapa lama yang kami butuhkan untuk menghilangkan karbon itu dari udara?.Berapa lama waktu yang kami butuhkan untuk mengembalikan keadaan, dengan mensubstitusi bahan bakar fosil dengan bahan bakar terbarukan yang akan kami tanamkan,”tambahnya.
Di beberapa tempat seperti hutan Amazon, katanya, waktu pengembalian karbon berkisar hingga 60 tahun. Tetapi waktu pengembalian karbon menjadi “hanya beberapa tahun saja” di kebanyakan wilayah Brazil, karena tebu merupakan bentuk energi yang produktif,”jelasnya.
Namun mereka juga memperingatkan penggunaan tebu tidak menjawab permasalahan seperti berkurangnya keanekaragaman hayati atau kemungkinan kelangkaan air, dan belum tentu dapat diperluas ke wilayah “cerrado”, atau padang rumput yang luas, di tengah negeri itu, tanpa irigasi. Para ilmuwan menekankan bahwa manfaat tebu tergantung pada penanamannya di tanah yang sudah digunakan untuk pertanian, bukan lokasi yang dikonversi dari penanaman alami.
Tahun lalu juga terbit sebuah laporan penting berjudul “Perdagangan Global dan Dampak Lingkungan Uni Eropa Biofuels Mandat” dari International Food Policy Research Institute (IFPRI) yang mengungkapkan bahwa negara-negara Eropa dapat mengurangi emisi karbon di sektor transportasi dengan menggunakan etanol berbasis tebu Brasil-yang paling emisi biofuel gratis. Bila dibandingkan dengan bensin, biofuel ini menekan emisi gas rumah kaca sekitar 90%.
Melihat pengalaman sukses Brasil, dalam pemanfaatan bahan bakar etanol (alkohol) yang diolah dari tebu untuk kendaraan bermotor layak dikembangkan di Indonesia. Mengingat krisis energi terus menghantui negeri ini, apalagi, setelah meletusnya revolusi social di negara-negara penghasil minyak membuat harga minyak dunia naik terus, yang juga berimbas pada ketersedian bahan bakar mesin (BBM) dalam negeri. (Marwan Azis)