Salah seorang petani, kedelai, Mbah Dolah, tengah memilah-milah tanaman yang rusak gara-gara banjir. Foto : Bekti Suryani |
Sarjono, petani kacang kedelai, Jumat (22/10), menyatakan, tak pernah mendapatkan info dari BMKG soal perubahan cuaca, karena bingung membacanya. Kelompoknya juga tak pernah menyampaikan info cuaca versi pemerintah. Alhasil, hanya berpedoman pada pranata mangsa, semacam kalender yang jadi kepercayaan petani sejak zaman dulu.
Sayangnya, pranata mangsa yang diyakini justru meleset. Pada periode Mei-September yang sedianya kemarau, justru terjadi curah hujan tinggi. Sekitar150 rumpun tanaman kedelai milikSarjono rusak. Kerugian jutaan rupiah harus ditanggung. “Perkiraannya panas, normal, makanya nanam palawija, ternyata salah mangsa,” tuturnya.
Petani lain, Partini, mengatakan, tak pernah menggunakan info perkiraan cuaca, lantaran sulit dipahami. Padahal katanya, kemampuan membaca info iklim sangat dibutuhkan, karena pranata mangsa sulit diandalkan. “Pengen tahu, cuma gimana, selama ini pakai pranata mangsa,” ujarnya.
Kepala Dinas Pertanian Bantul, Edy Suharyanta, mengakui, petani sulit membaca informasi iklim lantaran keterbatasan pengetahuan. Kalaupun disampaikan ke petani melalui tenaga penyuluh, tetap tak mudah dipahami, selain kepercayaan pada pranata mangsa lebih kuat. Apalagi info itu tak bisa memprediksi cuaca dalam beberapa hari.
Akibatnya, periode Mei-September, petani rugi hingga miliaran rupiah, lantaran 1.168 hektare lahan palawija gagal panen. Di antaranya bawang merah, kedelai, kacang tanah, cabai, dan jagung serta tanaman tembakau. Selama ini Dinas Pertanian hanya adaptasi dengan mengubah pola tanam, membenahi saluran drinase, serta menggunakan bibit tanaman yang tahan cuaca ekstrim. Namun tetap saja tak banyak mengurangi risiko gagal panen.
Penggagas Sekolah Lapang Iklim dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Rizaldi Boer, menilai, keterbatasan pengetahuan membaca bahasa informasi cuaca, tak hanya menimpa petani, juga penyuluh. “Bagaimana petani paham kalau penyuluhnya tidak paham, kadang modul tentang iklim langsung diberikan ke petani, karena mereka tidak paham, bayangkan saja betapa pusingnya petani,” katanya.
Terpisah, Kepala BMKG DIY, Budi Waluyo berdalih, kegagalan petani dalam membaca informasi iklim, tak bisa dibebankan ke lembaganya. Yang berperan penting dalam penerjemahan informasi iklim adalah tenaga penyuluh pertanian. Bila informasi tak sampai, petani tak bisa memanfaatkannya.
Lembaganya menyampaikan info tiap bulan, berisi hasil evaluasi cuaca bulan lalu, serta prediksi tiga bulan ke depan. Informasi itu disampaikan melalui instansi terkait, untuk dijadikan pedoman petani. Dikatakannya, pada periode Mei-September, sebenarnya BMKG telah mengingatkan bakal terjadi fenomena Lanina, curah hujan tinggi. Hanya informasi itu diabaikan petani dengan tetap menanam palawija. Meski ia mengakui iklim daerah tropis sangat dinamis. BMKG tetap tak bisa memprediksi perubahan cuaca dalam waktu pendek.
“Iklim tropis itu sangat dinamsi, meski sudah diprediksi tiga bulan ke depan tidak terjadi hujan, tapi kadang muncul badai hingga terjadi hujan hanya beberapa hari, waktunya pendek. BMKG tak bisa memprediksi kalau seperti itu,” jelasnya.
Namun di luar itu, informasi BMKG memiliki akurasi 60-70%. Itu bisa ditingkatkan, asal sarana atau peralatan pendeteksi cuaca semakin padat di tiap daerah. Namun, menjadi kendala dengan keterbatasan peralatan.
Dia mencontohkan, DIY tak memiliki radar yang bisa mengukur volume air hujan. “Indonesia itu luas, tapi alatnya terbatas, sebenarnya kalau alat-alat pendeteksi itu banyak dipasang akan semakin akurat prediksinya, semakin rapat tiap daerah, semakin akurat. BMKG DIY misalnya cuma punya AWS (Automatic Weather Stasion) alat pemantau dan pengukur cuaca di empat wilayah, itu saja masih kurang,” ungkapnya.***
* Penulis adalah peserta fellowship SIEJ.