Aktivis iklim Asia Tenggara melakukan aksi damai di pertemuan iklim PBB di Bangkok (4/4), mereka mendesak para pemimpin dunia untuk menghasilkan kesepakatan iklim global yang mengikat. Foto : Greenpeace. |
Kali mereka mencoba memanfaatkan Pertemuan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlangsung di Bangkok. Mereka bertemu Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Christiana Figueres, di pintu masuk United Nations Convention Center di Bangkok untuk menyampaikan desakan kesepakatan iklim global ambisius kepada para pemimpin dunia, para aktivis lingkungan ini mengenakan jaket musim dingin, jas hujan dan busana pantai untuk menggambarkan kekacauan iklim, saat mendatangi
Aktifitas ini digalang oleh A-FAB (ASEAN for a Fair, Ambitious and Binding Climate Deal), koalisi regional yang terdiri dari Greenpeace, Oxfam dan WWF, mendesak pemimpin negara-negara Asia Tenggara untuk maju ke depan dalam putaran terakhir negosiasi iklim PBB yang akan hari ini dimulai di Bangkok.
“Kami mengirim pesan kepada semua delegasi, terutama delegasi ASEAN, bahwa kesepakatan iklim global yang mengikat dan adil adalah masalah masa depan rakyat Asia Tenggara. Demi kepentingan kawasan, sangat penting adanya suara kuat dari ASEAN, dalam merespons tantangan nyata perubahan iklim,” ujar Zelda Soriano, Penasehat Politik Greenpeace Asia Tenggara melalui keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.com.
Di Asia Tenggara khususnya, perubahan iklim bukan lagi sesuatu yang diperdebatkan tetapi sudah menjadi kenyataan yang memprihatinkan. Kawasan ini terus didera bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan. Bahkan, pertemuan iklim PBB di Bangkok ini berlangsung di tengah fenomena iklim ekstrim.
Dalam beberapa pekan terakhir, ibukota Thailand dibingungkan oleh fenomena suhu di bawah 20 derajat celcius di tengah musim panas, sementara di kawasan selatan Thailand terjadi banjir dan tanah longsor yang berdampak pada dua juta orang. Pekan ini, bencana serupa terjadi di Filipina bagian tengah dan utara, demikian juga di Indonesia.
“Delegasi ASEAN harus memastikan bahwa sumberdaya akan diberikan untuk proses adaptasi yang sangat dibutuhkan, serta mendesak negara maju untuk memperbesar target pengurangan emisi mereka,” tegas Shaiimar Vitan, Koordinator Kampanye dan Kebijakan Asia Tenggara, Oxfam.
A-FAB merekomendasi perlunya kesepakatan yang menjamin adanya komite adaptasi yang terdiri dari mayoritas negara berkembang, yang harus mentaati pendekatan sensitif gender dan berbasis negara dalam kebijakan dan program adaptasi nasional, dikaitkan dengan mekanisme keuangan.
“ASEAN harus memastikan proses adaptasi ini mendapat sumberdaya yang cukup dari Green Climate Fund yang dibentuk di Cancun, karena sangat dibutuhkan oleh mayoritas populasi miskin,” ujar Sandeep Chamling Rai dari WWF.
Karena itu A-FAB mendesak ASEAN mewujudkan terjadinya puncak emisi global pada 2015 dan mendesak negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kaca paling sedikit 40 persen pada 2020, dan paling tidk penurunan 95 persen dari tingkat emisi 1990 pada 2050 mendatang. Tugas berikutnya adalah memutuskan pengukuran paling akurat dan adil serta terpercaya (MRV) dalam memantau pengurangan emisi gas rumah kaca.
A-FAB dibentuk oleh koalisi Greenpeace, Oxfam dan WWF, ASEAN for a Fair, Ambitious and Binding Global Climate Deal (A-FAB) bertujuan untuk menajamkan dan memperkuat posisi ASEAN sebagai blok regional di UNFCCC, mengingat masyarakat di kawasan ini sedang berjuang melawan dampak buruk perubahan iklim. Lebih jauh lagi, koalisi ini bertujuan untuk mendukung upaya ASEAN dalam memastikan partisipasinya pada komunitas global, mengikuti proses yang terus berlangsung.
Pekan ini, pemerintah dari berbagai negara -pemerintah bertemu untuk menyepakati tujuan-tujuan yang telah ditetapkan di Pertemuan Iklim PBB di Cancun Desember tahun lalu. Mereka akan merundingkan adaptasi, aspek keuangan iklim, penanggulangan dan mekanisme transfer teknologi.(Marwan Azis).