Oleh : Marwan Azis*
Kerusakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Fukushima akibat gempa bumi berkekuatan 8,9 skala richter yang mengoyang Jepang Jumat lalu, kini menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menjadi malapetaka yang mengerikan bagi manusia dan lingkungan. Musibah tersebut memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia yang juga berencana membangun PLTN.
Sejumlah media melansir laporan, tiga dari empat unit sistem pendinginan di Fukushima Daini rusak. Temperatur air pendingin pada reaktor meningkat di atas 100 derajat Celcius, sebagai tanda sistem pendinginnya tidak berfungsi. Operator reaktor nuklir di Fukushima, Jepang kini dalam masalah besar.
Tak heran sejumlah ahli nuklir mulai khawatir, akan datang bencana besar seperti ledakan nuklir di Chernobyl, Ukraina yang menelan korban jiwa sekitar 5 juta orang terkena radiasi.”Jika upaya pendinginan reaktor gagal, maka situasi di Fukushima menjadi mirip seperti di Chernobyl, Ukraina,”kata mantan Kepala Komisi Regulator Nuklir AS, Peter Bradford seperti dilansir AFP (13/3). Peter mencatat ada dua kecelakaan nuklir terburuk dalam sejarah terjadi pada bencana Chernobyl pada tahun 1986 dan ledakan reaktor Three Mile Island di AS pada tahun 1979.
Kedua PLTN itu meninggalkan kisah yang menyayat hati. Ledakan Chernobyl ditaksir 200 kali lebih kuat daripada radiasi dari bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Sedahsyat jejak yang ditinggalkannya. Selain jumlah korban tewas yang fantastis, kerusakan besar pun terjadi pada lingkungan di sekitar Chernobil. Belum lagi penyakit dan kelainan genetis yang menyerang para korban selamat yang terkena radiasi.
Kecelakaan tersebut, menyebabkan 31 orang dinyatakan meninggal, 200 orang luka-luka, sementara 135 ribu orang yang berada 30 km di sekitar reaktor terpaksa dievakuasi. Sedangkan sebanyak 24.403 orang dinyatakan terkena radiasi berat dan sebagian hingga kini belum diperkenankan untuk kembali.
Partikel akibat ledakan itu mengandung radio aktif 400 kali lebih banyak dari ledakan bom atom Hiroshima dan memaksa sepertiga juta orang mengungsi dari kediamannya serta menyebabkan epidemic kanker tiroid (gondok) pada anak-anak. Biaya kerugian ekonomi, kesehatan dan pembersihan kompensasi, dan kerugian produktivitas meningkat berlipat-lipat dalam miliaran dolar.
Setelah 25 tahun berlalu, warga dunia kembali terguncang saat gempa disertai tsunami menerjang Jepang. Ribuan nyawa pun melayang. Namun satu yang menjadi kekhawatiran saat pembangkit listrik tenaga nuklir PLTN Fukushima Daiichi, Jepang meledak. Pemerintah Jepang pun langsung mengevakuasi penduduk yang berada di radius 10 hingga 20 kilometer dari lokasi PLTN.
Menurut seorang ahli Nuklir, Yusuf Cirincione, kecelakaan nuklir di Jepang akan menjadi satu dari tiga bencana terburuk dalam sejarah. “Jika terus berlanjut, jika mereka tidak berhasil mengatasi masalah ini, kita baru saja meninggalkan krisis sebagian dan menuju krisis penuh. Ini menjadi bencana yang sempurna,” ujar seorang ahli nuklir, Yusuf Cirincione, dalam sebuah wawancara dengan CNN.
Hanya Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Indonesia punya penilain berbeda. Menurutnya kasus Jepang berbeda dengan Chernobil. “Ledakan di PLTN Fukushima Daiichi bukan ledakan nuklir meski sejumlah radioaktif keluar dari bangunan reaktor,” jelas Kepala Batan Hudi Hastowo.
Sementara kelompok aktivis lingkungan yang tergabung dalam Greenpeace juga memperingatkan bahwa kerusakan akibat gempa bumi dahsyat pada dua pembangkit nuklir menempatkan “Jepang di tengah ancaman krisis nuklir dengan konsekuensi yang berpotensi merusak”.
Badan keselamatan nuklir Jepang juga telah meletakkan kecelakaan nuklir di Fukushima pada tingkat empat pada skala internasional 0-7. Mereka meyakini imbas dari ledakan di Fukushima hanya menimbulkan pengaruh lokal dan tidak meluas. Pemerintah Jepang telah mengumumkan melebarnya daerah radiasi dari 10 km menjadi 20 km. 4 Karyawan PLTN Fukushima diketahui terluka akibat ledakan di reaktor nomor 1, kemarin. 140 ribu orang telah dievakuasi dari daerah tersebut, namun seorang pejabat lainnya mengatakan, terdapat 190 orang dalam radius 10 kilometer, ketika tingkat radiasi meningkat. 22 orang dinyatakan telah terkontiminasi.
Media internasional juga menyorot ketidak mampuan pemerintah setempat dalam menanggulangi terjadinya gempa dan tsunami yang mengakibatkan kerusakan berat. Termasuk meledaknya reaktor nomor 1 dan 3 pembangkit listrik tenaga nuklir di perfektur Fukushima. Pejabat kabinet Jepang Yukio Edano mengakui adanya kemungkinan kerusakan pada inti reaktor. Ia juga mengakui, telah terjadi peningkatan radiasi di sekitar pabrik Diichi Fukushima, namun tidak menjadi ancaman bagi masyarakat secara langsung. Menurut badan meteorologi Jepang, saat ini yang perlu diperhatikan, arah angin yang berhembus dari wilayah selatan ke utara Fukushima.
Tak heran kalau kejadian tersebut mulai menimbulkan keresahan baik di Jepang maupun sejumlah negara yang berbatasan dengan Jepang termasuk Indonesia. Namun wajar bila warga bumi khawatir karena bahaya radiasi nuklir tak main-main. Dampak radiasi bermacam-macam, ada yang bisa dirasakan seketika dan ada yang baru muncul dalam jangka panjang.Selain memicu evakuasi ribuan warga di sekitar lokasi kejadian, dampak kesehatan masih dirasakan para korban hingga bertahun-tahun.
Dalam jangka pendek, radiasi nuklir bisa membuat pusing, mata berkunang, bahkan menyebabkan disorientasi. Badan menjadi lemah, rambut rontok, muntah darah, tekanan darah rendah hingga luka sulit sembuh. Sedangkan jangka panjangnya, radiasi menyebabkan kanker, penuaan dini, gangguan sistem syaraf hingga mutasi genetik bahkan kematian.
Kejadian bocornya salah satu reaktor nuklir Jepang pasca gempa dan tsunami merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia untuk berpikir ulang sebelum PLTN Semanjung Muria dibangun . Sebaiknya pemerintah meninjau kembali rencana untuk membangun PLTN Indonesia, mengingatkan wilayah Indonesia terutama Pulau Jawa berada dipatahan lempeng gempa, sehingga sangat rawan terjadi kebocoran reactor.
Dari sisi dan teknologi nampaknya kita juga belum siap, mengurus sampah saja tidak beres, apalagi mengurus nuklir. Tentu kita tidak ingin, kebocoran reactor nuklir di Jepang dan duka Chernobyl terulang kembali di Indonesia.
Dengan kenyataan bahwa Indonesia dianugerahi sumber energi terbarukan yang melimpah tapi belum dimanfaatkan maksimal, maka pilihan yang paling aman dan ramah lingkungan adalah memanfaatkan energi alternatif seperti panas bumi, tenaga gelombang, energi nabati dan bioenergi. Ketimbang mengambil resiko bodoh dengan membangun PLTN yang setiap saat bisa menjadi bom waktu yang mengerikan.
* Penulis adalah Pengurus Society of Indonesia Environmental Journalists (SIEJ)