Laporan dari Cancun : Kill Kyoto dan Annex yang Ngambek

Indeks Perubahan Iklim
Suasana COP CANCUN. Foto : Xinhuanet

Kalau bicara Konferensi Para Pihak (COP) Perubahan Iklim, dokumen Protokol Kyoto tahun 1997 punya lampiran yang membagi anggotanya menjadi tiga kategori. Negara Annex I, yaitu negara yang memiliki sejarah emisi panjang, tergolong negara maju bila dihitung dari pendapatan domestic bruto (PDB).

Kelompok ini awalnya dihuni 40 negara industri maju termasuk Jepang, Jerman, Perancis, Italia dan semacamnya. Kelompok ini ditetapkan dengan mengacu pada keanggotaan mereka pada Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang didaftar tahun 1992.

Golongan kedua adalah Non-Annex, terdiri dari 151 negara berkembang seperti Indonesia, Brasil, Meksiko, Afrika Selatan bahkan Israel, Singapura, Cina, dan India ngendon di sini. Di antara keduanya, dan ini yang menarik, ada Annex II yaitu negara dalam kondisi ekonomi transisi. Rusia, kawasan Baltik, Eropa Tengah dan Timur menjadi penghuninya. Negara OECD macam Amerika Serikat juga ada di sini. Hanya Annex I yang wajib mengikatkan dirinya (legally binding) dengan target pengurangan emisi, dengan target total pengurangan 5,2% emisi pada tahun 2012.Itu teorinya.

Bersama tumbuhnya perekonomian, beberapa negara loncat pagar. Republik Ceko, Kroasia, Liechtenstein, Monaco, Slovakia, dan Slovenia pindah dari Annex II ke Annex I, atau menjadi negara maju dengan kategori emisi tinggi. Tahun 2001 giliran Turki masuk Annex I.

Tak semuanya rela loncat sana-sini. Contohnya Cina,yang kini menjadi negara dengan kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat, atau India yang perlahan mengancam posisi Canada di sepuluh besar. Begitu pula Brasil yang sudah relatif lama nongkrong di nomer delapan, atu Korea Selatan yang menurut riset tiga lembaga—IMF, Bank Dunia dan analisis CIA, kekuatan ekonominya tahun 2009 berada di peringkat ke-15, jauh meninggalkan puluhan negara yang lebih dulu masuk Annex I. Semuanya telah melampaui definisi negara industri dalam kerangka perubahan iklim terutama bila dilihat tingkat emisinya, dan masuk negara maju (developed country) bila ditisik PDB-ya. Bahkan, menurut catatan Robert Stavins dari Universitas Harvard, sekitar 50 negara non-Annex sekarang punya pendapatan per-kapita jauh lebih tinggi dibandingkan beberapa negara termiskin di Annex I.

Kalau bicara tentang keadilan, negara-negara macam Cina, Korea Selatan,India, Brasil, sudah sepantasnya bermutasi ke Annex I, lengkap dengan legally binding target pengurangan emisi. Rupanya, tidak ada yang dengan sukarela bersedia mengikat dirinya sendiri. Malah Rusia dan Canada sudah mengatakan tidak berkomitmen pasca-2012, padahal Indonesia saja mau sukarela menyasar 26% reduksi emisi di tahun 2020.

Puncaknya, akhir minggu lalu delegasi Jepang secara mengejutkan menyatakan negaranya tidak bersedia menyatakan komitmen apapun untuk pengurangan emisi pasca Protokol Kyoto tahun 2012. Tiba-tiba saja semua negosiasi kena lampu merah, karena sikap tuan rumah protokol bisa menjadi pemantik bagi negara lain. “Jepang ngambek sudah lama, sejak Climate Bill gagal di Amerika, ditambah sikap beberapa negara maju yang tidak mau berkomitmen pasa Kyoto Protocol,” kata Sulistyowati, salah satu negosiator Indonesia dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Sikap Jepang dan beberapa negara maju yang tak maju-maju dalam perundingan inilah yang dijuluki kelompok Kill Kyoto dan sempat mendapatkan predikat Fossil of the Day dari kelompok Climate Action Network, gabungan LSM lingkungan, karena mengancam hasil positif konferensi.

Negosiator Jepang Akira Yamaka punya alasan, “Kami tak ingin mengakhiri Protokol Kyoto, cuma tidak mau ada komitmen kedua bila kelompok negara berkembang utama tidak ikut didalamnya.” Negara yang dimaksudkan siapa lagi kalau bukan Cina, India dan Brasil. Sedangkan Huang Hui Kang, negosiator Cina berkelit,”

“Menurut Protokol Kyoto, negara maju harus menyediakan transfer teknologi dan dana baru kepada negara berkembang. Mereka yang semestinya memimpin pengurangan emisi,”katanya. Pertarungan Kill or not Kill Kyoto, kental nuansa politik ekonomi global. Cina sangat menikmati posisinya sebagai negara berkembang (developing country), gelar yang enggan dilepas sejak disandangnya 13 tahun lalu di Kyoto, sementara Jepang terlanjur masuk Annex I dan terus mengerem emisinya,yang ujungnya menghambat beberapa ekspansi ekonominya.

Jepang juga geram karena mereka baru saja disalip Cina jadi nomer dua, tambahan pula impor elemen langka (rare-earth mineral ) mereka, dibatasi pemerintah Cina. Mineral rare-earth semacam scandium, yttrium dan 15 jenis lantanid sangat dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor utama Jepang seperti telepon seluler, mobil hibrid, kincir angin, dan peluru kendali. Celakanya 95% ekspor dunia dikuasai Cina, dan akibatnya produksi barang ekspor Jepang sempat tersendat. Kartu trup politik dagang macam Cina inilah yang sekarang jadi warna latar belakang tiap keputusan COP16 dan mungkin COP selanjutnya.

Berapa lama Jepang ngambek atau kapan Rusia dan Canada punya komitmen mereduksi emisinya, tak mudah diterka. Jawabannya terletak pada pertanyaan ini: Siapa akan mendapatkan apa, dan apa dampaknya terhadap kesejahteraan mereka. Setelah tuntas dan jawabannya terang, barangkali mereka baru mau pegang prinsip, “common but differentiated responsibility.” (IGG Maha Adi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *