Oleh : Marcela Valente
BUENOS AIRES (IPS) – Kedatangan peralatan eksplorasi minyak Inggris di laut Atlantik Selatan menyulut ketegangan antara Argentina dan Inggris atas kepulauan Malvinas/Falkland.
Pada 17 Februari, Menteri Luar Negeri Argentina Jorge Taiana mengumumkan bahwa Sekjen PBB Ban Ki-moon akan menerimanya pada 24 Februari di New York untuk mendengarkan kemasygulan Argentina mengenai keputusan Inggris mengambil langkah sepihak di wilayah yang dipersengketakan.
“Pemerintah Argentina meningkatkan nada tuntutannya, tapi tak hendak memprovokasi keadaan ini terulang lagi. Sebaliknya, kami ingin menunjukkan sikap tegas, yang sepadan dengan langkah sepihak yang diambil Inggris,” kata diplomat Argentina Lucio García del Solar kepada IPS.
Dalam pandangan mantan duta besar dan pakar hubungan Argentina-Inggris ini, “Kedua pihak tak ingin mengambil langkah militer,” seperti yang mereka lakukan pada 1982. Saat itu Argentina mengambil-alih kepulauan itu, yang diduduki-paksa Inggris sejak 1833, lalu memicu perang yang menewaskan 649 tentara Argentina dan 255 tentara Inggris, dan berakhir dengan kekalahan Argentina.
García del Solar, duta besar Argentina untuk PBB pada 1965, menyusun sebuah resolusi yang dia ajukan pada Sidang Umum PBB. Isinya, Komite Dekolonisasi PBB harus memanggil Inggris setiap tahun untuk duduk dan merundingkan solusi dalam perselisihan mengenai kedaulatan kepulauan tersebut.
Ketegangan di antara kedua negara memuncak karena peralatan eksporasi Inggris, Ocean Guardian, berada dalam perjalanan menuju kepulauan Malvinas/Falklands dan akan tiba dalam beberapa hari. Peralatan itu akan digunakan perusahaan Inggris Desire Petroleum dan Rockhopper Exploration untuk mengebor minyak di perairan yang dipersengketakan, 160 kilometer utara kepulauan itu.
Menurut survei geologi yang dilakukan di London pada 1998, terdapat 60 milyar barel minyak di wilayah sekitar kepulauan selatan ini, yang terletak 1.800 kilometer dari Buenos Aires dan 12.000 kilometer dari London. Studi Desire Petroleum sendiri menegaskan hampir tiga milyar barel minyak.
Awal bulan ini pemerintah Argentina melayangkan protes keras melalui Kedutaan Besar Inggris di Buenos Aires, sementara Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris membela hak penduduk kepulauan itu untuk mengembangkan industri minyak di dalam wilayah perbatasan maritim mereka.
Pada 16 Februari, Argentina meningkatkan protesnya. Presiden Cristina Fernández menandatangani sebuah dekrit yang mewajibkan seluruh kapal yang berlayar dari pelabuhan benua Argentina ke Kepulauan Malvinas/Falklands, South Georgia atau South Sandwich, atau melintasi wilayah perairan Argentina, mengajukan izin sebelum berlayar.
Presiden mengatakan, alasan dekrit itu adalah “penolakan sistematik” Inggris untuk mematuhi resolusi PBB yang menyerukan agar kedua negara memperbarui negosiasi mengenai kedaulatan dan menahan diri dari langkah sepihak. Dia menegaskan bahwa resolusi ini “akan diterapkan pada semua negara, bukan hanya yang paling lemah.”
Dekrit itu menyiratkan bahwa begitu Ocean Guardian tiba di Kepulauan Falklands/Malvinas, “mereka harus meminta otorisasi dari Argentina,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Victorio Taccetti, termasuk kapal-kapal yang akan memberikan bantuan logistik ke alat pengeboran itu.
Pada 17 Februari, Perdana Menteri Inggris Gordon Brown mengatakan, “Diskusi yang bijaksana akan menyelesaikan masalah ini,” sembari menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan Inggris “punya hak penuh”. Dia menambahkan, “Kami sudah melakukan segala persiapan yang dibutuhkan untuk memastikan penduduk Kepulauan Falkland benar-benar dilindungi.”
Sumber kedutaan Inggris mengatakan, “Pemerintah Argentina punya hak untuk membuat UU di wilayah perbatasannya dan pemerintah Kepulauan Falkland punya hak untuk membuat UU di wilayahnya.”
London “tak ragu mengenai kedaulatan kepulauan itu dan wilayah laut di sekitarnya,” dan rencana pengeboran “sepenuhnya sah,” kata sumber itu lagi.
García del Solar mengatakan, “Untuk beberapa waktu, London berasumsi punya hak untuk mengeksplorasi cadangan minyak di kepulauan itu. Tapi mereka tak pernah mengirim peralatan pengeboran minyak seperti saat ini, yang besar dan terlihat, di wilayah perairan yang dipersengketakan dan ini merupakan masalah sensitif.”
Dia mengatakan, Argentina mengklaim pemerintah Inggris “tak punya hak untuk mengambil langkah sepihak untuk mengeksploitasi sumber daya alam, dalam hal ini minyak, tanpa berkonsultasi dan mendapat persetujuan dari pemerintah Argentina.”“Inilah posisi yang diambil Buenos Aires, dan berharap pemerintah Inggris, yang bijaksana, akan setuju untuk meminta otorisasi. Argentina punya hak untuk mengabulkan atau menolak izin. Kalaupun kepulauan itu bukan wilayah perairan Argentina, ia adalah wilayah perairan yang dipersengketakan,” kata mantan duta besar itu.
Hubungan diplomatik antara Argentina dan Inggris retak setelah Perang Malvinas/Falklands, tapi diperbaiki pada awal 1990-an. García del Solar berperan dalam pemulihan hubungan itu. Tapi selama pemerintahan Presiden Carlos Menem (1989-1999), sebuah kebijakan untuk menjalin hubungan erat dengan penduduk kepulauan itu dibangun, meski presiden tak menyetujuinya.
Menurut diplomat karier itu, teman bicara Argentina mengenai wilayah yang dipersengketakan itu semestinya Inggris, bukan pemerintah di kepulauan itu. García del Solar juga menentang perjanjian kerjasama minyak dan perikanan yang ditandatangani pada 1990-an, yang memungkinan penduduk kepulauan itu menjual surat izin tanpa persetujuan Argentina.
Di bawah pemerintahan Presiden Néstor Kirchner (2003-2007), suami Presiden Fernández, Buenos Aires kembali melontarkan klaim atas kedaulatan pulau tersebut. García del Solar mengaitkan perubahan haluan ini dengan daerah asal Kirchner. Dia lahir di selatan Provinsi Santa Cruz, hanya 600 kilometer dari kepulauan itu.
Kirchner membatalkan perjanjian kerjasama minyak dan perikanan itu serta melarang perusahaan yang menandatangani kontrak ekstrasi minyak di Malvinas/Falklands dengan menggunakan hukum Inggris untuk beroperasi di wilayah Argentina.
Fernández mengikuti garis yang sama dalam merespon langkah baru Inggris.”Langkah Argentina –mewajibkan izin bagi kapal yang menuju Malvinas– harus dibaca sebagai kebijakan mengenai tuntutan keras, yang meningkatkan level protes, dan bisa ditelusuri kembali ke masa pemerintahan Kirchner,” kata García del Solar.*
Translated by Basilius TriharyantoEdited by Budi Setiyono