Ketika HPH Melestarikan Orangutan

Indeks Satwa
Ilustrasi pelespasliaran orangutan. Foto dok : Info Publik.
Perusahaan HPH selama ini selalu dindentifkan dengan aktivitas penebangan pohon, tak pelak perusahaan HPH dimata penggiat lingkungan dituding sebagai biang perusakan hutan. Namun anggapan itu tidak berlaku bagi PT RHOI yang juga bergerak di bidang HPH. Lalu apa yang membedakan dengan HPH lainnya?.
Greenomics pada tahun 2008 pernah melansir sebuah laporan yang bersumber dari Lembaga Penilai Independen (LPI) Departemen Kehutanan selama periode 2005- 2007 menyebutkan, sebanyak 61,54% pemegang izin HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang beroperasi di Pulau Kalimantan dikategorikan berkinerja buruk dan sangat buruk dalam pemanfaatan kayu secara lestari di areal konsesinya.

Rilis tersebut sempat memerahkan telinga para pengusaha HPH, tapi itulah sepenggal cerita potret buram kinerja HPH dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang lebih berorentasi keuntungan semata, akibatnya luas hutan Indonesia kian menyusup dari tahun ketahun. Menjamurnya perkebunan sawit kelas dunia di Indonesia kian memperburuk arael hutan, yang keberadaanya mengancam habitat utama spesies langka seperti orangutan.

FAO mencatat, laju kehancuran hutan Indonesia mencapai 1,871 juta hektar atau setara dengan 300 lapangan bola setiap jamnya. Tak heran Guinnes World Record menetapkan Indonesia pada 2007 sebagai negara penghancur hutan tercepat.

Kuatnya sorotan penggiat lingkungan dan meningkatkan kesadaran global akan fenomena perubahan iklim, Departemen Kehutanan pun meresponnya dengan pengetatan izin HPH. Dephut terus mencari model pengelolaan hutan lestari, salah satunya konsep hutan restorasi yang diyakini mampu menjaga kelestarian hutan.

Peluang itu coba ditangkap pengurus Yayasan BOS (The Orangutan Survival Foundation), LSM lingkungan bergerak pada pelestarian orangutan. “Kita memang pakai nama PT, kalau diijinkan sebenarnya pakai yayasan aja gitu toh, tapi Undang-Undangnya tidak seperti itu.”kata Ketua Dewan Pembina Yayasan BOS, Prof Dr Ir Bungaran Saragih beberapa waktu lalu.

Perseroan Terbatas bernama PT. Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (PT RHOI) segera mereka bentuk, agar dapat mengajukan permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).“Kebetulan sekarang ada HPH yang baru dari pemerintah, namanya HPH restorasi yang tujuanya tidak untuk memotong kayu, tapi justru untuk menanam kayu,”tuturnya.

Menurutnya, HPH yang dimiliki Yayasan BOS beda dengan HPH masa lalu yang selalu berorentasi profit. “Jadi begini ya, memang HPH kita ini beda dengan HPH yang lain, bukan seperti HPH yang masa lalu lagi. Itu sudah lewat, itu paradigma lama. Kita punya HPH bukan untuk dipotong tapi untuk ditanami kembali, supaya nanti tumbuh pohon dan biodiversity timbul disana, dan kita masukan orangutan,”jelasnya.

Saat ini PT RHOI telah mendapatkan izin prinsip (SP-1) dari Dephut untuk HPH restorasi di Kalimatan Timur seluas 86 ribu hektar dan segera akan ditambah 20 ribu lagi berarti akan menjadi 106 ribu hektar.

PT RHOI juga sedang mengusulkan areal konsesi HPH restorasi di Kalimatan Tengah. “Di kita sudah membuat studi-studi pendahuluan untuk mendapatkan areal restorasi yang nantinya akan digunakan untuk pelepasan orangutan di Kalteng luasanya dua kali lipat dari ada yang di Kaltim,”ungkapnya.

PT RHOI bersama Yayasan BOS akhir tahun berencana akan melakukan pelepasan orangutan di areal hutan restorasi di Kutai Timur dan Kutai Kertanegara Kaltim seluas 106 hektar.

Sebelumnya Yayasan Bos telah melepas liarkan 400 orangutan ke habitatnya seperti hutan lindung dan hutan konservasi lainnya. Menurutnya, pelepasliaran orangutan ke habitat alaminya merupakan muara dari seluruh proses rehabilitasi orangutan yang selama ini dilaksanakan oleh Yayasan BOS sejak 1991. Namun kegiatan tersebut sejak tahun 2002 Yayasan BOS tidak dapat dilanjutkan karena karena sulitnya mendapat areal yang memenuhi kriteria sebagai tempat pelepasliaran orangutan.

Setelah berhasil mendapatkan izin prinsip, saat ini PT RHOI sedang melengkapi dokumen UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan). Ijin usaha HPH restorasi itu untuk 60 tahun itu daur pertama dan setelah itu bisa diperpanjang 35 tahun lagi.

Keuntungan yang bisa diperoleh PT RHOI? Menurut Bungaran, pihaknya mendirikan bukan berorentasi ekonomi lebih pada kepentingan konservasi.“Kita tidak mencari untung, keuntungan kita adalah kalau biodiversity timbul disitu dan orangutan kita bisa tinggal disana secara sejahtera,”ujarnya.

“Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah dari mana uangnya? ya toh. Selama ini kita mendapatkan uang dari donasi untuk penyelamatan orangutan, dikasih makan, obat dan dilepas liaran semua pendanaanya berasal dari donasi, sebagian donasi ini akan dananya ke RHOI,”jelasnya.

Pihak PT RHOI juga berencana mengembangkan areal hutan restorasi sebagai areal ekowisata “Mungkin juga pada masa datang PT ini harus dapat uang, walaupun bukan itu tujuannya. Satu barangkali kita buat ekowisata, jadi orang berkunjung untuk melihat orangutan, melihat biodiversity yang lain, sehingga masyarakat setempat juga akan memperoleh keuntungan dari kegiatan ekowisata,”kata Drs Marzuki Usman, MA, Komisaris Utama PT RHOI.

Termasuk memanfaatkan mekanisme perdagangan karbon seperti REDD. “Jangan-jangan nanti bisa dapat karbon trade. k Menjamurnya perkebunan sawit kelas dunia di Indonesia kian memperburuk arael hutan, yang keberadaanya mengancam habitat utama spesies langka seperti orangutan. Kalau kita dapatkan syukur,”tuturnya.

Konsensi PT RHOI di Kaltim seluas 86 ribu hektar sebagian besar hutanya masih perawan, hanya sekitar 10 ribu hektar yang sudah ditebang.”Sekitar 10 ribu hektar harus direstorasi. 76 ribu hektar masuk hutan virgin . Sebenarnya kita sudah bisa untuk melepas liarkan orangutan ke wilayah itu,”paparnya. (Marwan Azis).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *