JAKARTA, BL-, Sedikitnya 15 kali gempa susulan sejak gempa pertama mengguncang kota Padang dan Pariaman, Sumatera Barat, pada Rabu (30/09) pukul 17.16 WIB kemarin.
Gempa susulan terakhir tercatat di bawah 5 Skala Ritcher (SR) pada pukul 14.00 WIB, Jumat (02/10), sebagaimana data yang diterima oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Jakarta.
“Dalam tiga hari terakhir, sejak gempa pertama mengguncang kota Padang dan Pariaman, Sumatera Barat, tercatat intensitas goncangan semakin melemah”, ungkap Wandono, Kabid Informasi BMKG Jumat (02/10) siang.
Secara keseluruhan gempa susulan yang terjadi berada di bawah angka 5 SR yang berarti guncangannya tidak sekencang gempa pertama. Adapun lokasinya masih berada pada kawasan gempa pertama. Kendati demikian, tidak ada jaminan gempa besar akan muncul kembali.
Menurut Wandono, gempa Sumatera Barat terjadi akibat tumbukan lempeng Indo Australia dengan Eurasia, yang berlokasi di segmen Mentawai. Lempeng Indo Australia ini menusuk masuk ke bawah lempeng Eurasia. Tempat terjadinya tumbukan yang biasa disebut sesar merupakan lokasi yang harus diwaspadai karena disana masih terkumpul energi yang cukup besar.
“tidak tertutup kemungkinan jika gempa terjadi lagi di pusat segmen Mentawai, energi yang akan dilepaskan bisa lebih besar”, ujarnya.
Dilihat dari posisinya, Pulau Sumatera, khususnya Sumbar, Jambi dan Bengkulu, memang menjadi kawasan rawan gempa. Untuk Sumbar sendiri, sedikitnya 10 kali gempa besar pernah terjadi, terakhir pada tahun 2007 silam.
Dari catatan sejarah, gempa besar diatas magnitude 8 SR di kawasan Sumbar, termasuk Mentawai pernah terjadi pada tahun 1835. Diperkirakan gempa ini mengalami pengulangan sekitar 240 tahun. Saat ini, merupakan masa-masa pengulangan tersebut. Selain itu, gempa besar lainnya pernah terjadi pada tahun 1926 dengan besaran mencapai 8-9 SR.
Sedangkan kemungkinan terjadinya tsunami pada gempa Sumbar sangat kecil, mengingat gempa yang terjadi hanya berukuran 7,6 SR dengan kedalaman 71 KM. Kedalaman yang cukup dangkal ini ikut mempengaruhi tidak terjadinya tsunami.
“tsunami hanya berpeluang muncul jika skala yang ditimbulkannya lebih besar dari 7 SR dengan kedalaman lebih dari 70 KM. Pun, biasa terjadi di laut dalam”, tutur Wandono kemudian.
Kemungkinan terjadinya gempa utama dan gempa susulan, sampai saat ini belum bisa diprediksi. BMKG, sebagai instansi pemerintah hanya bertindak sebagai monitoring dan memberi informasi bagi pihak-pihak yang terkait terhadap munculnya gejala-gejala alam tersebut.
Saat ini, dalam waktu yang cukup singkat (baca; 5 menit) BMKG bisa mencatat lokasi terjadinya gempa lengkap dengan besaran skalanya. Informasi ini diharapkan dapat diteruskan pada masyarakat, sehingga korban dapat ditekan seminimal mungkin. (Jekson Simanjuntak)