Menggeluti Liarnya Cicatih

Jelajah
Arung Jeram Cicatih. Foto dok : Jeksen Simanjuntak.

“Waduh…, ada yang jatuh, tuh!” ujarku pada rekan satu tim di perahu rescue tempatku berada. Ternyata sesosok tubuh yang langsung di telan ganasnya jeram Cicatih, tak lain adalah Muhar, kru news yang posisinya tak stabil saat perahu meliauk di liarnya arus. Sesaat ia diombang-ambingkan gelombang sebelum akhirnya berhasil diselamatkan oleh rekan satu timnya.

Sesaat sebelum perahu kami melewati jeram ZigZag bergrade IV, rasa khawatir langsung membuncah. Pasalnya, jeram yang terbentuk sangat tidak beraturan dalam lintasan yang cukup panjang, memaksa kami ekstra waspada. Beruntung orang-orang di perahu rescue memiliki kemampuan dan kekompakan yang baik, sehingga kami dapat melaluinya dengan mulus.

“kita tunggu sebentar sampai semua perahu tiba, baru kita lanjut!” perintahku
“…ya betul! Takutnya, ntar ada yang jatuh dan kita telah siap menolong” sahut Endus, salah seorang rescuer.

Sejurus kemudian, aku melihat muhar sedang berjuang di ganasnya jeram, akibat terlempar dari perahu. Posisinya yang sempat jauh dari perahu menyulitkan rekan satu timnya untuk menolong. Disaat seperti itulah perlunya perahu rescue. Pasalnya, jika terlambat sedikit saja, nyawa jadi taruhan. Keadaan mulai membaik, ketika dengan kekuatan penuh perahunya berhasil menjemput, sehingga tim rescue tak perlu turun tangan. Kini, kami tinggal menunggu perahu selanjutnya. “semoga semua berjalan lancar” gumanku lirih.

Ikhwal Pengarungan

Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba saja undangan ber-arung jeram hadir, ditawarkan Oji (asprod news) lewat milis. Sontak banyak yang menanggapinya, hingga akhirnya terkumpul 13 nama. Berhubung jarang buka imel, saya baru tahu kalau ada tawaran tersebut. Peluang ikut sepertinya langsung kandas, begitu tahu kuota 10 orang yang ditawarkan telah terpenuhi, bahkan lebih. Untungnya, dewi fortuna masih memihak, karena ternyata banyak teman-teman mengundurkan diri dengan beragam alasan. Ini yang membuat peluangku sebagai cadangan menyodok masuk menjadi peserta inti.

Arung jeram… ehm, itulah kegiatan yang akan kami geluti nanti. Kegiatan olahraga air yang siap menyedot adrenalin para penikmatnya. Rasanya sudah cukup lama saya tak melakukannya, sejak pengarungan di Sungai Pekalen – Jawa Timur 1,5 tahun silam.

Seingatku, sejak awal, tak ada penjelasan hendak ke sungai mana kami akan ber-arungjeram. Anehnya, dalam benakku, hanya terpatri satu nama, ‘Citarik’. Sungai yang telah begitu akrab di telinga para penikmat wisata air karena letaknya tak begitu jauh dari Jakarta

Ternyata asumsi itu gugur, begitu tahu kami akan berarung jeram di Sungai Cicatih yang terkenal ganas. Lokasinya yang sama-sama di Kab. Sukabumi pun sempat membuat kami kewalahan. Bahkan di sebuah kesempatan, kami malah mengarah ke Sungai Citarik. Beruntung Oji mengingatkan, bahwa lokasi yang di tuju adalah Desa Bojong Kerta, Kec. Warung Kiara, tempat Sungai Cicatih berada. Di Jawa Barat, sungai ini merupakan salah satu sungai terbaik untuk arung jeram, karena keberadaan debit airnya.

Berbeda dengan Sungai Citarik yang mulai mengalami pendangkalan, Sungai Cicatih relatif stabil. Hal ini dikarenakan debit airnya dapat diatur sesuai kebutuhan, sehubungan dengan adanya dump (pintu air) yang dikelola oleh PLTA Ubruk di bagian hulu. Selain itu jeram yang terbentuk sangat bervariasi dengan tingkat kesulitan antara II – IV.

Bagi pemula, sungai yang hulunya berasal dari Gn. Gede – Pangrango dan Gn. Salak ini agak riskan untuk diarungi, tanpa pengawalan guide berpengalaman. Namun bagi anda yang tertantang mencoba, tak perlu khawatir, karena Riam Jeram sebagai salah satu operator arung jeram, siap melayani sesuai prosedur standart keselamatan internasional. Sedangkan bagi penikmat yang telah beberapa kali berarungjeram, mencoba sungai ini pastinya memberi kesan tersendiri.

Menuju Sungai

Setelah melalui perjalanan darat dari Jakarta via Ciawi selama 3 jam berkendara dengan mobil batik kebanggaan, akhirnya kami tiba di meeting point (baca; titik start), tepatnya di Desa Bojong Kerta. Disana beberapa orang guide telah menanti kedatangan kami. Perjalanan kembali dilanjutkan menggunakan mobil pick-up menuju pinggir sungai berjarak 6 km dari jalan raya.

Setibanya disana, 3 buah perahu telah siap membawa kami ber-arungjeram. Kemudian, diadakan briefing singkat untuk penyamaan aba-aba, safety prosedur yang harus ditaati selama pengarungan, sebelum akhirnya ditutup dengan doa dan yel-yel.

Selanjutnya dengan gerakan kompak, masing-masing perahu berhasil melahap jeram Ngehek, sebuah jeram pembuka di sungai ini. “go…go..go!” ungkap Aang –-skiper perahu II–. Jeram berkelas II ini seakan meledek para penikmatnya jika tak hati-hati. Walau tak terlalu berbahaya, jeram ini sering menghempaskan pengarung yang kurang waspada. Itu sebabnya jeram ini disebut ‘ngehek’.

Dengan gerakan maju, di depan telah menanti Jeram Serius berkelas II yang juga terkenal liar. Gerakan jeram ini kadang kala menimbulkan standing wave (baca: ombak berdiri) yang siap menampar perahu, jika tim tidak kompak dalam mendayung. Ternyata mereka berhasil melaluinya dengan baik. Kini tinggal menghadapi Jeram Jontor berkelas III dan Jeram Kuku Patah (kelas II) di depan sana.

Penamaan jeram-jeram ini terbilang aneh, karena ada cerita unik yang mengikutinya. Jeram Jontor misalnya, terjadi karena ada pendayung yang bibirnya jontor terkena dayung sendiri, akibat gerakan jeram yang menukik. Sedangkan Jeram Kuku Patah, terjadi karena ada tamu yang sempat mengalami patah kuku sehabis melewatinya.

Tak jauh kemudian, di depan telah menghadang Jeram Asmara (kelas II) yang relatif panjang, bersambung dengan Jeram Undercut ber-kelas II. Jeram Undercut terbentuk karena adanya gerakan arus yang menghantam dinding tebing, sehingga membentuk ceruk yang relatif dalam. Melewati jeram ini cukup berbahaya, itu sebabnya kami lebih memilih jalur kanan yang lebih aman, ketimbang melalui jalur kiri tempat Undercut berada.

Beberapa saat kemudian, di ujung sana, Jeram Pabelit (kelas II) yang terkenal dengan alurnya yang berbelit-belit telah menanti, berganti rupa dengan Jeram Gerbang ber-kelas II yang gampang dikenali dengan adanya dua batu besar di tengah sungai. Jika diamati sekilas, batu besar tersebut memang mirip pintu gerbang.

Sedari tadi, saat memulainya hanya rasa takjub yang tercipta. Pasalnya, berbeda dengan sungai kebanyakan yang jeramnya cenderung sama dan bisa diprediksi, jauh berbeda dengan sungai ini. Sekilas aku teringat sungai Asahan dan Sungai Batang Toru di Sumatera Utara yang terbilang ganas. Keistimewaannya terletak pada jeram-jeram liarnya (kelas II – IV) yang tak gampang di prediksi dan memiliki alur yang berbeda satu dengan yang lain. Selain itu, arus tenang (baca: flat) tak terlalu lama, alias tak banyak, sehingga para penikmat tak bosan

Puas dengan jeram berkelas II dan III, di depan sana telah menanti jeram besar yang cukup ditakuti di sungai ini, yakni Jeram ZigZag ber-kerlas IV. Jeram ini terkenal dengan alurnya yang zigzag dan standing wave-nya yang besar. “dayung majuuu semua!” teriakku sembari mengarahkan perahu pada jeram itu. Posisiku sebagai skipper –-kapten– yang berada di buritan, membuatku leluasa memilih jeram mana yang harus diambil. Sedetik berlalu, kami pun berhasil mengarunginya dengan mulus. Kini, tinggal menunggu tim berikutnya, yang ternyata berujung dengan terlemparnya Muhar dari perahu.

Tahap akhir

Setelah Muhar diselamatkan oleh rekan satu timnya, perahu berikutnya melaju dengan cukup baik. Sepertinya kekompakan tim mulai terbina diantara mereka. Di depan, tak jauh dari jeram besar tadi, sebuah tempat perhentian sementara telah menunggu. Di tempat itulah kami rehat sejenak guna mengendurkan otot sembari mengisi perut dengan panganan kecil, berupa aneka gorengan dipadu dengan air kelapa muda. “wah..wah.., nikmat benar makan cemilan sehabis main air begini,” ujar Vanico, seorang peserta yang telah 2 kali berarung jeram di sungai ini.

Lima belas menit kemudian, pengarungan kembali dilanjutkan. Masing-masing orang tampaknya lebih siap, belajar dari pengalaman tadi. Aku yang sempat menjadi skipper pun harus berganti dengan Komar –-skiper sebenarnya– mengingat besarnya jeram yang akan kami hadapi di depan sana.

Benar saja, guide-guide itu tentunya lebih hafal jalur ketimbang saya yang baru pertama mengarungi Sungai Cicatih. Ini terbukti, saat perahu kami berhasil mengarungi Jeram Warok (kelas IV) yang juga terkenal dahsyat, lalu berganti dengan Jeram Marjuki (kelas IV) yang tak kalah seru. Dan seperti biasa, setiap melalui satu jeram besar, kami harus menunggu perahu berikutnya, setelah peluit panjang dibunyikan, pertanda tim rescue telah berhasil dan kini giliran mereka.

Tak hanya itu, Jeram Gigi (kelas IV) yang kala itu sempat merontokkan gigi salah seorang peserta, telah menanti dengan gaharnya. Melihat itu, komar pun memberi aba-aba untuk mendayung lebih dalam agar tidak terlempar. Sedetik berlalu, yup.. kami sanggup melewatinya.

Puas dalam tarikan nafas panjang, jeram besar lain, lagi-lagi masih menunggu. Disana telah hadir Jeram RolerCoster (kelas IV) dan Jeram Blender ber-kelas IV yang siap mengaduk perahu. Dua jeram ini sama berbahayanya. Kalau Jeram RolerCoster terbentuk antara batu besar dan tebing Sungai, Jeram Blender terjadi karena perbedaan gradien sungai yang membentuk sudut 90º. Jika tak kompak, Jeram Blender akan menghisap setiap benda yang ada diatasnya. Itu sebabnya, gerakan jeram ini disebut “Hole”, alias lubang yang siap menyedot. Kalau saja ada peserta yang terlempar ke dalam Hole itu, pasti agak sulit untuk mengevakuasi, kecuali dia bisa self rescue atau berhasil menggapai tali lempar yang diberikan rescuer.

Dari posisi aman di tepi sungai, kami mengamati bagaimana perahu-perahu itu harus berjuang segenap tenaga untuk meloloskan diri dari jebakan “Hole” Jeram Blender. Dengan perasaan was-was, satu persatu perahu itu menunjukkan kehadirannya. Walau terseok-seok, perahu kedua terlihat melewatinya dengan susah payah. Sedangkan bagi perahu ketiga, gerakan perahu di depan menjadi pelajaran bagi mereka dalam bermanuver.

Beruntung ketiga perahu berhasil melaluinya, kini tinggal menggeluti jeram selanjutnya. Lepas dari Flat –-arus tenang– sebuah jeram panjang (kelas III) langsung menghampiri, lalu berganti dengan Jeram Terlena (kelas II) dan Jeram Cihuy (Kelas II) dalam satu gugusan yang letaknya berdekatan.

Kini, giliran Jeram Kerinduan (kelas III) tertata di depan mata. Jeram ini sangggup memuntahkan seisi perahu, karena tertahan di tebing sungai. Jika tak langsung berbelok ke kanan, perahu dapat “wrap”, alias nyangkut di tebing sungai akibat kuatnya tekanan.

Dan sebagai penutup, Jeram Maskot (kelas III) memberi kenangan tersendiri bagi rekan-rekan di perahu kedua dan ketiga. Pasalnya, beberapa orang sempat terlempar saat melewati jeram yang terbentuk akibat adanya 2 batu besar tertanam di dasar sungai. Dari posisi yang tak terlalu jauh, segera kami –-perahu rescue– menghampiri mereka. Ternyata, di perahu kedua, Vanico (campers) dan Gede (reporter) yang jadi korban. Masih dengan ekspresi kaget, mereka berhasil kami diselamatkan. Sedangkan di perahu ketiga, buyung (produser) –salah seorang peserta–, sempat terjatuh dan langsung ditolong rekan satu timnya.

Perahu akhirnya merapat di finish, tak jauh dari Jeram Maskot berada. Dari sini masih dapat kulihat jelas kegagahan Jeram maskot yang seakan jadi penutup lambang kedahsyatan sungai ini. Tak terasa 2 jam sudah kami mengarungi sungai yang masih terlihat asri dengan panjang lintasan sejauh 12 KM. Rute ini pun biasa disebut dengan Trip Advanture.

Selanjutnya, kami pun berbenah kembali sebelum makan dengan lahap tuk mengisi perut yang makin keroncongan, sebelum akhirnya kembali ke Jakarta. Back to the Real Life. Sungguh, keajaiban Tuhan nyata di sungai ini. Semoga kau –-Sungai CIcatih– tetap lestari. ((Jekson Simanjutak)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *