Salah satu telaga di Wonosobo. Foto : Jeksen Simanjuntak. |
Sekeliling sangat gelap, sewaktu kami memulainya hari itu. Jam merujuk pukul 02.00 WIB dini hari. Dengan berat hati, terpaksa saya harus bangun dari tidur yang singkat, jika tak ingin terlambat tiba disana. Kalau di hitung-hitung, paling-paling 2 jam mata ini sempat terpenjam.
Menggunakan kendaraan roda empat bertenaga 1300cc, kami pun beranjak meninggalkan kota bersejarah Jogyakarta melewati Magelang menuju Kabupaten Banjarnegara, tempat kawasan itu berada. Saat itu, hanya kegelapan yang bisa dinikmati. Hingga tak terasa, kami pun tiba di lokasi yang bernama “Menara Pandang” pada ketinggian 1700 mdpl. Menara ini disebut demikian, karena (kabarnya) dari tempat ini kita bisa menyaksikan matahari terbit di balik Gunung Sinduro yang menglilingi kawasan ini pada pukul 6 pagi.
Berhubung saat itu masuk musim penghujan, rencana menikmati sunrise harus direlakan dengan perasaan kecewa. Pasalnya, matahari yang ditunggu-tunggu tak kunjung muncul. Hanya mega-mega bewarna keemasan berbaur dengan awan yang memancar di ufuk timur. Sampai akhirnya, secara perlahan sekeliling mulai terang, pertanda kami harus melanjutkan perjalanan.
Secara geografis, kawasan ini terletak antara 7º,20′ Lintang Selatan hingga 109º,92′ Bujur Timur yang menurut pembacaan Google Earth berada pada Latitude: -7,20 dan Longitude: +109,92, dengan ketinggian 2.000-an m. Dari beberapa literatur yang saya baca, ketinggian tempat ini memiliki banyak versi. Mulai dari 2.093 hingga 2.565 m dari permukaan laut. Ntah lah, mana yang betul. Pasalnya, saat kesana, saya tidak bisa mengukurnya, karena ketiadaan alat (baca: altimeter).
Tentu anda sudah tak sabar ingin mengetahui apa nama kawasan tersebut, bukan? Bagi anda yang pernah kesana, ataupun berasal dari kawasan ini, namanya tentu sudah tak asing lagi. Yup.. anda benar. Dataran Tinggi Dieng-lah namanya, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Dieng Plateau.
Dengan suhu rata-rata 13ºC-17ºC di siang hari dan 10ºC di malam hari, menjadikan kawasan ini berhawa sejuk dan sangat cocok ditanami aneka jenis tanaman. Namun, di waktu-waktu tertentu, seperti Juli – Agustus, kita perlu waspada, karena suhunya bisa mencapai 0ºC. Suhu ekstrim ini sangat di khawatirkan masyarakat, sebab bisa membuat kerusakan pada tanaman pertanian. Masyarakat sekitar menyebutnya sebagai bun upas, artinya embun racun.
Berdasarkan etimologinya, Dieng berasal dari bahasa Indonesia Purba (sebelum bahasa Kawi) atau mungkin bahasa Sunda Kuna (baca; bukan bahasa Sansekerta); “Di” dan “Hyang” yang berarti Kediaman Para Dewa (kahyangan).
Dari kawasan ini, sumber mata air Sungai Serayu berada. Sungai Serayu merupakan sungai yang mengalir di Jawa Tengah bagian Selatan, bermuara di Cilacap. Sumber mata air ini disebut dengan Tuk Bimo Lukar (Mata-air Bimo Lukar). Tuk Bimo Lukar selain sebagai mata air Sungai Serayu, konon juga dipercayai dapat membuat awet muda.
Menikmati Pesona Candi Arjuna
Dahulunya dataran tinggi Dieng tempat pemujaan dan asrama pendidikan Hindu tertua di Indonesia. Sebagai buktinya, bangunan suci tersebut masih bisa kita temui sampai sekarang. Sedikitnya, dapat kita saksikan 8 buah candi dengan lokasi yang tak terlalu jauh.
Pada kesempatan ini, hanya kawasan Candi Arjuna yang bisa kami nikmati dari dekat. Pasalnya, waktu yang tersedia dengan lokasi wilayah yang sangat luas membuat kami harus memilih. Sejatinya, di kawasan ini terdapat beberapa kompleks candi, seperti Candi Gatotkaca, Candi Bima, Candi Dwarawati dan Candi Parikesit.
Dieng merupakan tempat suci yang memiliki kekuatan magis, karena dianggap sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur. Di tempat ini pula terdapat beberapa komplek candi yang diperkirakan di bangun pada masa Dinasty Sanjaya, abad ke 8, awal peradaban Hindu, dengan peninggalan beberapa arca, seperti Siwa,Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lain.
Gugusan Candi Arjuna konon untuk memuja Dewa Syiwa. Kawasan candi ini terdiri dari dua deret. Deret sebelah timur terdiri dari empat candi yang menghadap ke barat; candi Arjuna, candi Srikandi, candi Puntadewa dan candi Sembadra. Deret sebelah barat menghadap ke timur yaitu candi Semar yang berhadapan dengan candi Arjuna.
Penamaan candi-candi itu dipercaya baru dimulai pada abad ke-19 berkaitan dengan cerita wayang Purwa dalam lakon Mahabharata. Hal ini ditunjukkan dengan adanya relief-relief pada dindingnya. Penamaan candi juga tidak ada kaitannya dengan fungsi bangunan dan diperkirakan diberikan setelah bangunan candi ditinggalkan atau tidak digunakan lagi. Siapa tokoh yang membangun candi tersebut belum bisa dipastikan, karena informasi yang terdapat di 12 prasasti batu tidak menyebutkan siapa tokoh yang membangun.
Dari prasasti batu hanya ditemukan angka tahun 731 saka (809 Masehi) dan 1210 Masehi. Informasi ini digunakan sebagai petunjuk bahwa tempat ini digunakan selama 4 abad. Dari sisi arsitekturnya, candi-candi ini agak berbeda dengan candi kebanyakan di Pulau Jawa. Candi-candi tersebut dibangun dengan menggunakan konstruksi batu Andesit yang berasal dari Gunung Pakuwaja yang berada di Selatan komplek Candi Dieng.
Sejarah Geologi
Dataran tinggi Dieng merupakan dataran yang terbentuk oleh kawah gunung berapi yang telah mati. Bentuk kawah jelas terlihat dari dataran yang terletak di tengah dengan dikelilingi oleh bukit-bukit.
Dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) merupakan sebuah komplek gunung berapi. Sebuah kumpulan komplek gunung berapi yg luas dan mempunyai kemiripan hubungan gunung mayor dan minor dengan gabungan aliran lava dan batuan piroklastik (Francis, 1994). Komplek Dieng berbentuk dataran luas dengan panjang kurang lebih 9 mil (14 km) dan lebar 4 mil (6 km) dan memanjang dari arah barat daya – tenggara.
Struktur yg luas ini mungkin gabungan kaldera dengan peninggalan dua atau lebih stratovolkano. Bagaimana pun, tidak ada deposit yang besar dari gabungan pembentukan kaldera yang teridentifikasi. Sebuah kaldera tersebut usianya lebih dari 16.000 tahun. Sketsa peta Dieng Plateau dan kaldera sempat dibuat oleh Newhall dan Dzurisin (1988) yang dimodifikasi dari Delarue (1980).
Dieng yang berasal dari gunung api tua mengalami penurunan drastis (dislokasi), oleh patahan arah barat laut dan tenggara. Gunung api tua itu adalah Gunung Prau. Pada bagian yang amblas muncul gunung-gunung kecil yaitu: Gunung Alang, Gunung Nagasari, Gunung Panglimunan, Gunung Pangonan, Gunung Gajahmungkur dan Gunung Pakuwaja.
Beberapa aktivitasnya masih menimbulkan karakteristik yang khas. Seperti magma yang timbul tidak terlalu kuat, layaknya gunung merapi. Sedangkan letupan-letupan yang terjadi lebih karena tekanan air bawah tanah oleh magma yang menyebabkan munculnya beberapa gelembung-gelembung lumpur panas. Fenomena ini antara lain dapat dilihat pada Kawah Sikidang atau Kawah Candradimuka.
Sehingga jika ada yang mengatakan tempat ini merupakan bekas danau besar yang dikelilingi oleh gunung-gunung, sepertinya agak susah diterima akal. Akan lebih tepat, jika dikatakan kawasan ini merupakan bekas kawah akibat letusan gunung purba yang lama kelamaan digenangi air. Kawasan tergenang ini pula yang menyebabkan timbulnya telaga tadi.
Kawah aktif
Selain candi, Dieng juga menyimpan banyak kawah yang masih aktif mengeluarkan asap putih tebal. Beberapa di antaranya dinamai sesuai legenda Mahabarata, seperti Kawah Candradimuka dan Sumur Jalatundha. Candradimuka adalah nama kawah tempat menempa bayi Tetuko yang kelak menjadi ksatria gagah berani Gatotkaca.
Salah satu kawah di Dieng, yakni Kawah Sinila, sempat terkenal pada akhir 1970–an lalu karena mengeluarkan gas beracun yang menewaskan ratusan penduduk di sekitarnya. Kini, uap panas yang keluar dari kawah–kawah aktif tersebut dimanfaatkan untuk memutar turbin pada pembangkit listrik energi panas bumi yang mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 60 MW (2001).
Salah satu kawah yang dibuka sebagai objek wisata untuk umum adalah Kawah Sikidang. Kawah yang dari jauh sudah terlihat mengepulkan asap putih tebal tersebut, setelah didekati ternyata berbentuk kolam seluas sekitar 100 meter persegi yang berisi cairan kental abu–abu gelap yang mendidih bergumpal–gumpal.
Kawah ini pun sering berpindah-pindah letaknya, seiring dengan perbedaan tekanan di bawahnya. Jika pada tahun lalu, kawah aktifnya berjarak tidak terlalu jauh dari pintu masuk, kini lokasinya agak jauh ke tengah. Suara menggelegak dan desis uap air yang terbentuk dari kawah berwarna coklat kehitaman itu menimbulkan nuansa mistis yang khas.
Untuk mencapainya, kita harus hati-hati karena di sekitarnya banyak tumpukan lumpur kelabu yang berbau menyengat. Lumpur yang tampaknya padat dan sudah mengering tersebut sebenarnya adalah lumpur basah yang lembek dan sangat panas. Jika tidak waspada, kaki kita bisa terperosok ke dalamnya.
Indahnya Telaga Warna
Saat berkunjung ke kawasan ini, yang jangan dilewatkan adalah menikmati telaga alamnya, seperti telaga Merdada, Sumurup, Pengilon dan Telaga Warna. Dua telaga terakhir merupakan tempat menarik dan paling sering dikunjungi wisatawan, karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari jalan raya.
Cukup dengan membayar Rp. 3000/ orang kita sudah bisa memasuki kawasan Telaga Warna. Telaga ini menjadi lokasi favorit pengunjung, karena keasrian dan akses jalannya. Berbeda dengan telaga di tempat lain, di tempat ini pengunjung dimanjakan dengan jalan betonnya yang tertata rapi. Sehingga pengunjung akan melenggang dengan aman, tanpa harus takut terpeleset akibat licinnya jalan. Selain itu, di beberapa titik disediakan lokasi peristirahatan berupa bangku beton, tempat pengunjung melepas lelah sembari menikmati indahnya telaga.
Di telaga Warna ini kita juga bisa melihat 3 warna telag, yakni; biru, hijau dan cokelat untuk waktu-waktu tertentu. Sedangkan di musim penghujan seperti sekarang ini, warna telaga lebih di dominasi warna hijau.
Telaga Warna merupakan danau di dalam kawah dengan relief yang rendah dengan luas 20 Ha. Kedalamannya antara 10 – 20 m. Gelembung gas sering tampak di permukaan telaga dan udaranya menjadi berbau belerang. Gelembung ini terjadi akibat aktivitas vulkanologi jauh di dalam bumi, yang di dominasi oleh gas seperti, belerang.
Dengan kondisi topografi, pemandangan alam yang indah serta situs-situs purbakala berupa candi, terasa pas mengidentikkannya sebagai khayangan di Bumi Jawa. Sebuah tempat yang sangat sayang tuk lewatkan begitu saja. Setidaknya, menikmati kesan magis yang masih tersisa. (Jekson Simanjutak)