Tak banyak orang yang memiliki hobbi menanam pohon seperti Wolter Oroh, lelaki yang kini berusia 79 tahun. Aktivitas menanam pohon mulai dilakoni sejak masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) sekitar 1935. Berkat hobbinya menanam pohon, ia mampu menghidupi keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya di perguruan tinggi. Manfaatnya juga telah dirasakan langsung masyarakat yang berdomisili di sekitar Danau Tondano.
Pagi-pagi usai sarapan, Wolter bergegas menuju ke kebunnya yang berjarak kurang lebih 2 kilometer dari rumahnya. Dengan modal parang yang dibawanya, lelaki kelahiran 12 Maret 1927 ini berjalan perlahan-lahan. Kurang lebih 30 menit, sampailah ke kebunnya.
Mantan aparat desa di desa Tumaratas kecamatan Langowan Barat, Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara (Sulut) begitu tiba, istirahat sejenak.
Setelah itu ia memeriksa kayu yang ditanamnya. Tak cuma itu, ternak sapi yang dipeliharanya juga dilihat, apakah dalam keadaan baik-baik atau tidak. Tugas inilah yang rutin ditekuni suami Yuliana Makarawung selama ini saat usianya hampir mencapai 80 puluh tahun.
Kebiasaan ini terkait dengan hobbinya menanam berbagai jenis tanaman jangka panjang yang dimulai sejak masih kecil. Kini pohon yang ditanamnya itu sudah tumbuh besar dan sudah dapat digunakan untuk menghidupi keluarga dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang bermukim disekitar Danau Tondano Kab Minahasa Sulut. Adapun jenis tanaman kehutanan yang ditanam Wolter Woro antara lain pohon Wasian, Cempaka, Mahoni, Nantu dan Pulutan.
Ia menceritakan, keinginan menanam pohon selain karena hobbi, juga karena terpanggil untuk melestarikan lingkungan, terutama wilayah Langowan salah satu daerah Hulu Danau Tondano yang memiliki posisi strategis dalam pelestarian Danau Tondano.
“Kita ba tanam pohon, karena hobbi. Selain itu, kita pe papa ada kase belajar tanam pohon, karena sangat membantu di kemudian hari,’’ aku ayah 5 putra dan 5 putri ini dengan logat khas Minahasa.
Sejak masih sekolah dasar hingga sekarang, bukan cuma di kebun miliknya yang ditanam, tapi hutan di sekitar gunung Soputan, hingga daerah Tombatu, Ratahan, dan Langowan juga di tanami berbagai jenis pohon. “Selain menanam pohon, saya juga aktif mengajak masyarakat di desa lain untuk menanam pohon karena sangat berguna dikemudian hari,’’ ujarnya.
Bergunanya terbukti, pohon-pohon yang ditanam pada lahan seluas kurang lebih 12 hektar, hasilnya telah membantunya selaku seorang kepala keluarga dalam menghidupi. Anak-anaknya yang berjumlah 10 orang, semuanya mengecap pendidikan di perguruan tinggi.
Ada yang jebolan Universitas klabat (Unklab), Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKI), Akademi Perawat, APDN, dan salah satu perguruan tinggi di Bandung.‘’Itu pohon-pohon sebagian so potong, ada jual depe kayu karena membiayai kita pe anak-anak ada sekolah. Bersyukur, karena semua berjalan baik. Bukan cuma itu, kita anak-anak punya rumah ada bangun dengan kayu yang kita ada tanam di kobong,’’ ceritanya.
Selain untuk keperluan keluarga, di desanya kayu-kayu tersebut disumbangkan untuk pembangunan gereja dan kepentingan umum lainnya. Ia punya kisah menarik dengan pohon-pohon yang ditanamnya. Apa itu? Saat jepang menguasai, hutan miliknya ini digunakan sebagai markas Jepang. Malah kayu-kayu yang ditanamnya ini ditebang untuk dibuatkan markas. Pada perang Permesta pun seperti itu. Kayu yang ditanamnya juga ditebang. “Kurang lebih 1000 pohon yang ditebang waktu itu. Tapi kita nyanda melawan. Sapa mo suka mati. Mar kita tetap ba tanam terus, biar dorang so tebang itu pohon,’’ akunya.
Pohon-pohon yang sudah ditebang ini tidak dibiarkan begitu saja tanpa pengganti. Wolter sapaan akrabnya, mengaku, kalau ada yang pohon yang ditebang, ada pula yang ditanam. ‘’Jadi regenerasi pohon itu jalan terus, biar tidak habis,’’ ujarnya.
Hobbinya ini tidak disimpan. Mungkin merasa dirinya semakin hari makin ditelan usia, kebiasaan ini ditularkan pada anak-anak dan cucu-cucu yang berjumlah 21 orang. Meski, semua anak-anaknya sudah tidak tinggal dengannya, tapi diwajibkan untuk menanam pohon. “Itu kobong so berbage pa anak-anak, tapi siapa yang menanam pohon ia akan mendapatkan, kalau tidak akan dipertimbangkan. Jadi semua diwajibkan menanam pohon,’’ tandasnya.
“Ini bumi somo abis (hutan gundul, masakan torang mo tambah kase abis leh, jadi harus ba tanam pohon,’’ tambahnya.
Beberapa aktifis Jaringan Kampung untuk pelestarian DAS Tondano asal Desa Tumaratas seperti Novi dan Rully mengaku kearifan lokal yang dimiliki Om Wolter patut menjadi contoh bagi masyarakat Sulawesi Utara, karena ini memang keinginan melestarikan lingkungan tumbuh dari diri sendiri, bukan karena dorongan. Kalau seperti ini, tak akan ada lagi degradasi lingkungan.
Menurut Koordinator Jaringan Kampung (JARKAM), Jeffry Polii SIK, Opa Oroh layak mendapat penghargaan. Karena upaya yang dilakukan ini murni terdorong karena keinginan untuk melestarikan hutan, terutama Danau Tondano. “Pemerintah harus memperhatikan ini. Masakan masyarakat bisa, terus pemerintah,’’ kata Jepol sapaan akrabnya.
Hal senada juga disampaikan Koordinator Green Press (Perkumpulan Wartawan Lingkungan) Yos Hasrul saat berkunjung ke Danau Tondano untuk kepentingan pembuatan film dokumenter pengelolaan DAS di Sulawesi dan menyempatkan bersilaturahmi dengan Wolter Oroh beberapa waktu lalu. Menurutnya, apa yang dilakukan Bapak Wolter Woro perlu diberi aspresiasi atas kepeduliannya melestarikan lingkungan. ”Bapak Wolter Woro bisa dijadikan contoh bagi masyarakat lainnya dalam melestarikan lingkungan,”tandasnya.(Tommy Hamel/Marwan Azis)