Koalisi terdiri atas Jaringan Ornop Papua FOKER, dan Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Samdhana Institute dan Greenpeace. Tadi siang (23/7) di Jayapura Papua mereka sepakat mengumumkan pembentukan kelompok kerja untuk menyusun langkah-langkah kebijakan, pengelolaan dan pendanaan hutan yang diperlukan untuk melindungi hutan, masyarakat adat yang bergantung pada hutan, keragaman hayati, dan juga melawan perubahan iklim.
Menurut mereka, tumpang tindih peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan hutan Papua menjadi penyebab meningkatnya deforestasi akibat konversi bagi perkebunan kelapa sawit, penebangan hutan yang tidak lestari dan penebangan ilegal.
Papua yang menyandang status “otonomi khusus” menerapkan satu hukum yang mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumberdaya alam, namun, peraturan lainnya menyatakan bahwa hutan adalah milik negara.
“Hutan Papua, salah satu hutan terkaya keragaman hayatinya di dunia, menjaga 70% populasi, namun 70% masyarakat Papua hidup dibawah garis kemiskinan. Dua puluh persen dari 40 juta hektar hutan Papua telah hilang, aksi mendesak harus segera dilakukan untuk melindungi hutan yangtersisa dan untuk menjaga hak-hak masyarakat adata yang bergantung pada hutan,”Kata Marthen Kayoi, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Papua.
Pengakuan internasional atas pentingnya peran hutan dalam menjaga kestabilan iklim memicu munculnya upaya-upaya untuk melindungi hutan alam seperti yang ada di Papua. Untuk membantu masyarakat Papua dalam mendapatkan dukungan Internasional, Greenpeace memberi penjelasan tentang bagaimana dana perlindungan ini didapatkan dan dipergunakan.
Selain itu, Greenpeace juga menelurkan program inisiatif dan perlindungan hutan untuk Iklim yang salah satu agenda kegiatanya adalah mempromosikan satu pendekatan dimana komunitas internasional menyumbang pada skema pendanaan yang digunakan untuk perlindungan hutan berbasis pada komunitas dan masyarakat adat.
Namun Greenpeace menilai pendekatan perdagangan karbon tidak akan mendorong negara industri untuk benar-benar menurunkan emisi di negara asal mereka.“Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan hutan, masyarakat, kergaman hayati Papua dan melawan perubahan iklim global adalah dengan melakukan aksi nyata global dengan segera. Ini artinya, negara industri harus memberikan pendanaan setidaknya US$40 milyar per tahun untuk melindungi hutan-hutan alam yang semakin menyusut dan melakukan penurunan emisi secara drastis di negara asal mereka,” Jelas Yuyun Indradi, Pengkampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara.
“Presiden SBY harus membuka mata atas terjadinya krisis iklim dan melakukan aksi nyata segera dengan memberantas korupsi dalam tata pemerintahan di sektor kehutanan dan memberlakukan moratorium penebangan hutan. Kondisi ini akan mendorong mengalirnya dana-dana perlindungan hutan dari negara
industri yang dapat membantu menyediakan solusi bagi hutan yang lestari, masyarakat, dan keragaman hayati yang bergantung padanya dan membantu memenangkan perlawanan global terhadap perubahan iklim,” tambahnya.
Solusi Greenpeace meliputi penerapan eco-forestry sebagai bagian dari solusi melawan perubahan iklim, dimana hal ini telah berhasil dilakukan di Papua Nugini.
“Papua dan Papua Nugini cukup serupa, oleh karenanya kami berniat bekerja dan meningkatkan aktifitas eco-forestry di Papua. Hal ini juga dapat dianggap sebagai upaya aksi awal untuk melindungi hutan Papua. Eco-forestry tidak hanya sekedar pengelolaan hutan, tapi yang lebih penting adalah komunitas masyarakat dapat membangun kapasitas mereka dan memperoleh manfaat karena hak mereka diakui dan dihormati,” Kata aktivis eco-forestry PNG dan Pengkampanye Hutan Greenpeace, Sam Moko. (Marwan Azis)