AnaK Burung Maleo yang baru saja menetas, namun sudah bisa terbang, lokasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone-Gorontalo. Foto-2 Marwan Azis/Greenpress |
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) Gorontalo merupakan salah satu daerah konservasi yang memiliki berbagai keanekaragaman hayati, salah satu diantaranya adalah burung Maleo, satwa endemik Sulawesi yang kini terancam punah.
Aksi perburuan liar telur maleo oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab ditenggarai membuat nasib maleo terancam punah. Banyaknya perburuan liar terhadap telur maleo untuk di perdagangkan di pasar gelap telah memaksa Wild Conservation Society (WCS) sebuah organisasi konservasi yang berpusat di Amerika Serikat memberikan perhatian seius masalah ini dengan berupaya mengembangkan sistem penetasan maleo.
Lokasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat, namun saya bersama Yos Hasrul, Koordinator Greenpress lebih memilih menggunakan jasa tukang Bentor (Becak Motor), angkutan khas Gorontalo. Dengan memakan waktu sekitar 2 jam perjalanan atau jarak tempuh 20 kilometer dari Kota Gorontalo.
Tempat penangkaran burung maleo berada di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone tepatnya di Kabupaten Bone Bonlango. Seluruh kawasan TNBNW masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bone Bonlango dan Gorontalo Utara serta Kabupaten Bolamangodo Sulawesi Utara.
Bentor yang kami naiki terpaksa harus berhenti sebelum mencapai bibir Taman Nasional tepatnya di Desa Tulabelo, mengingat kondisi jalan sangat terjal dan rusak berat serta tak beraspal sehingga kami pun harus menggunakan jasa ojek dengan merongok kocek lima ribuan perojek. Tak kurang dari sekitar 30 menit naik ojek melewati jalan terjal, kami akhirnya sampai di pintu masuk Taman Nasional. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju daerah penangkaran burung maleo.
Sepanjang jalan kami sempat melihat beberapa areal taman nasional yang telah dikapling masyarakat, ada yang sengaja dibakar lalu dikonversi menjadi lahan bercocok tanam. Mereka menanami lahan tersebut dengan tanaman ”Jagung”. Komoditas pertanian yang saat ini menjadi primadona wilayah dipimpin Fadel Muhammad itu. Penambahan arael penanaman jagung tanpa kendali bukan tidak mungkin akan mengancam rumah satwa dan flora yang mendiami Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Kami juga sempat mendapati sebuah rumah beratap rumbia berdinding bambu dan papan yang hampir rubuh yang hanya dihuni satu keluarga, yang selama ini menjadi kawan para pengiat lingkungan saat berkunjug di taman nasional Bogani Nani Wartabone. Disana kami sempat beristrihat sejenak sambil menunguk air mineral (aqua red) yang kami sengaja bawa.
Setelah melewati rumah itu, kami mulai merasakan hawa segar udara Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, kesegaran udara tersebut tak lepas dari keberadaan rimbunan hutan yang kaya akan berbagai keanegarama hayati.
Jalan setapak demi setapak kami lewati ditengah hijauan pohon-pohonan dan remput-rerumputan bagaikan alas hijau yang senjaga dipajang, kicuan berbagai jenis burung tak mau ketinggalan menyapa kami sepanjang jalan dan seakan memecah keheningan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Sementara tupai, begitu lincah menyapa kami dengan suara merdunya, sambil mempertontonkan kelincahannya memanjak pohon. Demikian halnya dengan jangkrik pohon, suaranya yang terus menerus mengiringi langkah kami menyusuri taman nasional Bogani Nani Wartabone.
Di balik rimbunan hutan, ternyata taman nasional itu juga menjadi sumber air sungai Bone yang mengintari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Menurut aktivis Wild Life Conservasi Secoiety (WCS), Usman yang juga mendampingi kami, lebar sungai Bone cukup bervariasi ada mencapai 30, 40 hingga 50 meter lebih. Sungai Bone merupakan induk dari beberasa anak sungai di Gorontalo.”Sungai ini airnya bersumber dari hutan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone,”kata Usman asisten program Wild Life Conservasi Secoiety (WCS), sebuah LSM yang bergerak dalam pelestarian hidupan liar.
Keberadaan air sungai Bone bagi warga Gorontalo terutama yang berdomisili di sekitar taman nasional dijadikan sebagai sumber air minum serta untuk mengairi persawahan. Selain itu, sungai Bone juga dipakai sebagai transportasi untuk mengangkut rotan yang berasal dari TNBNW selanjutnya di bawa ke perkampungan melalui jalur sungai. Usaha rotan menjadi salah satu alternative warga yang berdomisili di sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Pemda Gorontalo saat ini tengah berupaya memanfaatkan sungai tersebut sumber energi listrik tenaga air (PLTA) untuk membantu kekurangan energi listrik yang belakangan ini melanda Sulawesi tak terkecuali Gorontalo.
Keberadaan sungai Bone, tak hanya dirasakan manfaatnya bagi masyarakat Gorontalo, tapi sejumlah satwa penguni taman nasional, juga menjadi sungai tersebut sebagai sumber air minum. Bahkan kawanan burung maleo memilih lokasi pinggir sungai Bone sebagai tempat membuat lubang-lubang dan penetasan telurnya.
Disana kami banyak menemukan ratusan lubang-lubang telur burung maleo yang memiliki kedalaman sekitar antara 30 hingga 50 cm. Setelah beberapa langkah kami menginjak kaki di lokasi penetasan telur burung maleo, kami sempat menyaksikan satu induk burung maleo yang sementara bertelur. Yos Hasrul (Kameramen Green Film) sempat mengabdikan gambar burung induk maleo itu saat bertengger di ranting pohon. Tak lama kemudian induk maleo itu terbang meninggalkan kami.
Selanjutnya Usman meminta kami berhenti sejenak,”Tunggu dulu yah, disini. Saya pergi dulu liat ditempat penetasan, mudah-mudahan ada yang menetas,”kata Usman seraya melangkah kakinya melewati semak belukar dan rimbunan pohon bambu menuju tempat penetasan. Dilokasi tersebut kita juga bisa menikmati beberapa kars yang mungil namun cantik.
Tak lama kemudian, Usman datang memberi kabar gembira.” Kedatangan kalian disini sepertinya cukup beruntung, karena disamping tadi sempat menyaksikan induk burung maleo. Alhmadullilah beberapa saat lalu, ada telur maleo yang menetas dan beberapa butir telur maleo juga baru saja ditemukan oleh staf kami. Mari kita pergi liat,”ujarnya.
Usman, aktivis WCS dan anak Maleo yang baru saja menetas. |
Setelah berjalan tak kurang dari seratus meter, akhirnya kami sampai pada tempat penetasan telur burung maleo yang disebut hatchery milik WCS. Di dalam hatchery itu kami melihat satu orang staf bernama Hayun yang begitu sabar mendata telur-telur maleo yang akan ditetaskan.
Dengan ramah pria paru baya itu menyambut. Kami pun masuk ke dalam hatchery itu dengan hati-hati agar tidak sampai menginjak telur maleo yang baru saja ditanam, dipojok kiri ruang hatchery terlihat anak burung maleo yang baru saja menetas.
Lucu dan imut, itulah kesan pertama yang kami tangkap saat melihat anak maleo yang baru menetas. Namun hal yang lebih mengesankan dan membuat saya dan Yos terkagum-kagum adalah saat melihat proses si anak maleo keluar dari dalam tanah setelah melewati masa pengeraman.
Rasa kagum itu semakin bertambah begitu melihat si anak maleo yang baru saja mencapai permukaan tanah tersebut ternyata sudah bisa terbang. Tak seperti layaknya anak unggas pada umumnya yang butuh waktu berminggu-minggu untuk bisa terbang. Begitulah keistimewaan anak maleo.
Untungnya, anak maleo itu masih berada di dalam hatchery. Selanjutnya anak maleo itu kami bawa keluar hatchery. Setelah puas mengambil gambar dan berpose dengan si anak maleo tersebut. Kami pun sepakat untuk melepasnya di alam bebas. Walaupun sudah dilepas, namun, anak maleo itu sepertinya masih mau mempertontonkan kelucuannya dan keistimewaannya ke kami, dan tak beberapa lama kemudian anak meleo itu terbang meninggal kami dan melewati beberapa pohon yang ada disekiling kami.
Di balik istimewaannya, si anak maleo ternyata memikul beban yang begitu berat setelah ditetaskan. Tanpa kehadiran sang induk saat matanya pertama kali melihat dunia ini, tanpa bimbingan sang induk untuk mencari makan dan terbang, tanpa perlindungan sang induk di saat bahaya menghampiri, bahkan, untuk keluar dari cangkang dan muncul ke permukaan bumi ini pun mereka harus berjuang sendiri.
Tak jarang diantara mereka dijumpai mati saat dalam perjalanan mencapai permukaan tanah, bahkan mereka kadang dijumpai dengan kepala yang sudah nongol di permukaan tanah, tapi sudah mati dikerumuni semut. Terkadang pula mereka dijumpai berhasil mencapai permukaan tanah namun sudah tanpa kepala di badan. Paling tidak, begitulah sedikit cerita miris perjuangan yang harus dilalui oleh anak maleo saat mulai menghirup udara dunia. Belum lagi tangan-tangan jahil yang siap menanti diluar sana di tambah dengan ganasnya hidupan di muka bumi.
Usman menceritkan proses maleo bertelur hingga menetas. Di alam bebas induk burung maleo menetaskan setelah maleo betina meletakkan telurnya di dalam lubang, maka secara bergantian atau bersamaan kedua induk maleo (jantan dan betina red) menimbun telur tersebut dan kemudian membuat timbunan tipuan (untuk mengelabui pemangsa). Berbeda dengan jenis-jenis unggas lainnya, Maleo tidak mengerami telurnya. Pengeraman telur dibantu oleh panas bumi atau panas dari sinar matahari.
Keberhasilan penetasan akan sangat bergantung pada temperatur atau suhu tanah. Hasil-hasil riset menginformasikan bahwa suhu atau temperatur tanah yang diperlukan untuk menetaskan telur maleo berkisar antara 32-35 derajat celsius. Dalam satu pasang burung maleo bisa menghasilkan telur sebanyak 6 kali-8 kali pertahun.
Lama pengeraman pun membutuhkan waktu sekitar 62-85 hari. Namun pernah juga tercatat ada telur yang menetas kurang atau malah lebih dari kisaran waktu tersebut. Saat waktu yang tepat tiba, telur pun pecah dan anak maleo akan keluar. Anak maleo yang baru menetas harus keluar sendiri ke permukaan tanah tanpa bantuan sang induk.
Perjuangan untuk mencapai permukaan tanah akan membutuhkan waktu selama kurang lebih 48 jam. Inipun akan tergantung pada jenis tanahnya. Sehingga tak jarang beberapa anak maleo dijumpai mati “ditengah jalan”. Tanah yang terlalu padat, akar-akan pohon yang terlalu rapat, lubang yang di gali terlalu dalam diduga menjadi faktor penyebab si anak maleo kehilangan banyak energi dan mengalami kelelahan hingga mengakibatkan kematian. sebelum mencapai permukaan tanah.
Lolos dari perjuangan panjang di dalam tanah, begitu kepala si anak maleo muncul ke permukaan, bahaya lain pun sudah menanti. Semut. Barangkali karena bulu-bulunya yang masih basah serta bau amis telur sehingga menarik perhatian semut mendatanginya. dan tak ada ampun lagi bagi si anak maleo yang kondisi sebagian badannya masih terhimpit tanah, akhirnya pasrah digerogoti semut. Kematian pun tak bisa terelakkan lagi. Terkadang tubuh lemahnya (setelah melalui perjalanan panjang di dalam tanah) harus dia pasrahkan untuk seekor tikus yang juga sedang menanti buruan.
Perjuangan sianak maleo belum belum berhenti disitu. Di luar sana masih banyak bahaya menanti. Biawak. Hewan yang satu ini adalah pemangsa utama bagi hewan peliharaan seperti ayam, begitu pula dengan maleo. Biawak adalah musuh utama bagi maleo. Selain mereka memangsa anak maleo, mereka pun adalah predator utama bagi telur maleo (selain manusia). Karena kemampuan penciuman mereka yang sangat tajam sehingga dengan mudah mereka menemukan telur maleo yang sudah tertimbun tanah sekalipun.
Bahaya lainnya datang dari burung pemangsa seperti Elang. Lokasi peneluran maleo yang sebagian besar merupakan daerah terbuka, sangat memudahkan bagi burung elang untuk mengintai mangsanya. Anak maleo yang masih lemah pun menjadi sasaran empuk mereka.
Belum lagi bahaya dari ular, atau bahkan manusia yang kadang mengabaikan kelestarian burung maleo. Mengingat satwa endemik Sulawesi itu berada dalam ancaman kepenuhan pemerintah didukung oleh penggiat lingkungan telah mengeluarkan peraturan yang melarang perdagangan burung maleo. Sayang hingga belum ada pelaku yang dijerat sehingga perburuhan burung maleo masih terus terjadi.
Tinggi ancaman kepunahan burung maleo, membuat salah satu organisasi pelestarian hidupan liar, WCS saat ini tengah mengupayakan pelestarian burung maleo melalui penetasan buatan di hatchery (tempat penetasan telur burung maleo) di Taman Nasional Bogani Nani Warta Bone Provinsi Gorontalo.
Lalu bagaimana tingkat keberhasilan perbandingan antara penetasan di alam dengan penetasan buatan. Usman yang sudah bertahun-tahun mengeluti pelestarian burung maleo, mengaku sejauh ini belum pernah dilakukan studi tingkat perbandingan penetasan di alam dengan buatan. Tetapi di alam tingkat ancaman cukup tinggi, seperti ancaman predator antara lain elang, anjing karena mobilitas dan aksesbilitas warga dari kampung Tulang Boki dengan kampung lainya sepanjang hari itu selalu ada.
”Mereka juga biasanya datang dengan banyak anjing dan singgah disini sehingga menganggu burung maleo yang lagi beraktivitas baik yang sementara bertelur ataupun bisa mengali lubang bertelur burung maleo selanjutnya anjing-anjing itu memakan telur burung Maleo,”.ungkapnya.
Selain orang, warga yang berdomisili di sekitar taman nasional ini banyak beraktivitas mengambil rotan dan biasanya mereka singgah dan mengambil telur-telur burung maleo.”Ancaman-ancaman itu sangat menganggu penetasan di alam,”ujarnya.
Sekedar informasi ukuran tempat penetasan burung maleo yaitu 5x 3, bahannya terbuat dari campuran semen pasir, krikil yang dicor untuk dijadikan alas bagian bawa, bagian tengah menggunakan dinding dengan ram besi dan bagian dalam menggunakan tagau, yang terbuat dari jaring nilong untuk mengantisipasi maleo yang baru menetas dan biasanya langsung terbang kemudian menabrak dinding-dinding tempat penangkaran, sehingga burung tidak langsung menabrak dinding atau ram besi tetapi hanya mengenai benda yang tidak keras (tagau red).
Kemudian di dalam tempat penangkaran telah disediakan lubang-lubang penetasan telur , telur-telur itu ditanam di dalam dan diatur sedemikian rupa, setiap lubang diberi tanda atau kode untuk membedakan dan mengetahui mana telur yang baru dan telur yang akan menetas.
Telur yang baru semuanya ditanam dalam lubang-lubang yang telah disiapkan, kapasitasnya bisa memuat 124 butir telur, Tidak menentu tergantung luas dan besarnya hatchery (tempat penetasan telur burung maleo). Hingga saat ini WCS telah memiliki hatchery liliana, bambu, dan tetraminus. Ongkos satu bangunan hatchery berkisar 3 juta, namun sangat tergantung dari besar kecilnya ukuran hatchery.
Sekarang yang terisi adalah hatchery liliana yang menampung 70 butir telur, bambu isinya seratus lebih sedangkan tetraminus lagi kosong. Jika umur telur sudah mencapai 100 hari maka dianggap telur itu tidak akan menetas lagi sehingga akan diganti dengan telur yang baru.
Proses mengerang telur burung maleo di hatchey tidak bedanya dengan proses penetasan di alam.”Jadi mengerangnya maleo tidak perubahan sebagaimana prilakunya di alam, tetap dibiarkan mengerang sendiri dengan menggunakan tanah, kita hanya memindah telur-telur maleo kesini untuk ditetaskan agar lebih gampang terkontrol,” Jelas alumni IKIP Gorontalo ini. Saat langit mulai menghitam pertanda hujan sebentar lagi turun, kami pun mengakhir perbincangan kami tentang burung maleo, sekaligus mengakhiri petualangan mengintari sebagaian taman nasional Bogani Nani Warta Bone. (Marwan)