PERUBAHAN iklim sangat berbahaya bagi masyarakat miskin dan masyarat pesisir di berbagai belahan dunia. Begitu juga denbgan masyarakat di Indonesia yang terdiri atas jutaan pulau-pulau.
Pada pulau-pulau terpencil, perubahan iklim sangat terasa dampaknya. Hujan yang tak tentu datangnya membuat mereka mengalami kerawanan pangan. Untuk memperoleh hasil laut terhadang ombak besar. Dan untuk bercocok tanam tergantung guyuran hujan.
Agar petani dapat mejalani hidupnya sepanjang tahun dalam perubahan iklim ini mereka harus diajak beradaptasi. “Oxfam GB berupaya melangkah untuk menumbuhkan peluang masyarakat miskin di pulau terpencil menyiasati perubahan iklim,” kata Aloysius Suratin, Manajer Program Building Opportunities, Oxfam GB Kantor Makassar.
Secara sederhana, Oxfam GB berupaya agar masyarakat disana dapat memenuhi hidupnya sepanjang tahun dengan menyesuaikan kondisi musim. Sebagai model, Oxfam GB membuat program “Menumbuhkan Peluang” itu di Pulau Tunda Banten, Pulau Buton dan Muna Sulawesi Tenggara, serta Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Aru di Maluku.
Dipilihnya pulau-pulau itu karena letaknya yang sangat terpencil dan perubahan iklim dampaknya sangat terasa langsung. Sebagian besar warga di sana hidup di pesisir pantai yang lautnya sangat dipengaruhi iklim. “Dulu musim itu dapat diprediksi, sehingga masyarakat akan tahu kapan hujan dan kapan kemarau. Tapi dengan pemanasan global, iklim menjadi berubah tak tentu waktunya,” imbuh Aloy, panggilan akrabnya.
Tak tentunya musim itu berakibat pada pemenuhan kebutuhan masyarakat di pulau-pulau terpencil itu. Selama ini, untuk menyambung hidup mereka mengandalkan sumber daya yang ada di laut. Tapi dengan perubahan iklim yang tidak menentu, waktu melaut mereka juga kina tak menentu. Pasalnya musim gelombang ombak yang besar dapat datang tiba-tiba. Tentunya mereka tidak bisa melaut jika gelombang ombak besar datang. Karena selama ini mereka hanya menggunakan perahu dayung kecil yang tak mampu menerjang ombak besar.
“Jika tidak melaut, sudah pasti mereka tidak dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan saja yang erat kaitannya dengan kesehatan dan kelangsungan hidup mereka tidak mampu,” kata Wahyu Irianto, Program Officer Building Opportunities Oxfam GB Makassar.
Oxfam GB datang ke pulau-pulau terpencil itu untuk membangun peluang baru bagi masyarakat disana agar mampu memenuhi kebutuhan pangannya sepanjang tahun. Dalam musim ombak tenang mereka bisa memperoleh hasil laut, dan pada musim ombak besar mereka dapat memanfaatkan hasil alam di darat serta tabungan dari hasil melaut.
Agar program dapat berjalan dengan baik dan efektif, Oxfam GB dengan dukungan Komisi Eropa, menggandeng lembaga swadaya masyarakat lokal di lokasi program. Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) Buton bekerja di Pulau Buton dan Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Yayasan Sor Silai bekerja di Kepulauan Tanimbar, Maluku. Dan Yayasan Sitakena bekerja di Kepulauan Aru, Maluku.
Agar masyarakat di pulau-pulau terpencil itu mampu beradaptasi dengan iklim yang tak menentu itu, Oxfam GB memberikan bantuan pelatihan dan modal kerja. “Tahap pertama yang dilakukan adalah membangun kelompok-kelompok masyarakat. Kelompok itu disesuaikan dengan karakter masing-masing tempat,” kata Aloy.
Ada kelompok penangkap ikan, pengolahan hasil ikan, budidaya rumput laut, pertanian, peternakan, penjual ikan, dan penjual kue. “Selain itu kami juga mendorong kelompok-kelompok itu membuat koperasi,” imbuh Aloy.
Dengan adanya koperasi, diharapkan masyarakat dapat menabung dan mengelola keuangan dengan produktif. “Selain itu agar mampu lepas dari jeratan utang rentenir,” timpal Yustina Ike Christanti, Program Officer Building Opportunities Oxfam GB Makassar.
Setelah kelompok itu kuat, berbagai pelatihan diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. “Pelatihan budidaya, pengolahan hasil, dan pengetahuan akses pasar diberikan kepada kelompok-kelompok tersebut,” kata Asman, pegiat JPKP Buton.
Dengan berbagai pelatihan itu, sambung Asman, masyarakat dapat memperoleh informasi dan motivasi untuk mandiri. “Yang sangat sulit adalah proses pendampingannya. Kalau tidak terus dimotivasi secara rutin, mereka suka berpuas diri dengan yang didapat dan jelek dalam pengelolaan keuangan,” imbuhnya.
Hal senada disampaikan Felix, Direktur Yayasan Sor Silai Tanimbar. Menurutnya, jika pendampingan tidak rutin dilakukan, masyarakat suka cepat berpuas diri. “Yang berat adalah memotivasi mereka untuk berpikiran maju. Karena lokasi desa dampingan yang jauh, sangat menyulitkan pendampingan secara sering,” kata Felix.
Bagi Oxfam GB, pangan merupakan hak setiap warga negara yang harus dipenuhi negara. “Tapi hingga kini baru dianggap sebagai komoditi. Sehingga orang miskin sangat sulit memperolehnya,” kata Ike, panggilan Yustina.
Masalah lainnya, sambung Ike, adanya politisasi nasi pada masa lalu. “Dulu semua warga Indonesia diajarkan bahwa yang namanya pangan yang utama adalah nasi. Ini sekarang menjadi masalah serius bagi masyarakat di pulau-pulau terpencil yan g tidak mengenal menanam padi,” katanya.
Dengan mengutamakan nasi sebagai pangan, masyarakat pesisir sangat tergantung pada pasokan beras dari luar. Dan karena ongkos kirim yang mahal, harga beras disana juga menjadi sangat mahal.
“Perubahan iklim dan ketergantungan pangan dari luar menjadi faktor penyebab kerentanan pangan terjadi di pulau-pulau terpencil,” tutur Aloy.
Program Building Opportunities yang digelar Oxfam GB dengan mitra-mitranya atas dukungan Komisi Eropa ini bertujuan melepaskan masyarakat di pulau terpencil lepas dari kerentanan pangan. “Jika masyarakat mampu beradaptasi pada perubahan iklim dengan ketrampilannya, tentu mereka akan dapat memenuhi kebutuhan pangannya,” pungkas Aloy. (Asep Saefullah)