Keresahan Membayangi Waduk Karian

Air Indeks

DEMI menciptakan pasokan air baku untuk warga kota, 2000 hektar lahan pemukiman dan kawasan pertanian di Kabupaten Lebak akan ditenggelamkan. Sekitar 4000 warga di empat kecamatan akan tergusur. Minimnya sosialisasi dari pemerintah membuat desas-desus berseliweran diikuti maraknya calo tanah.

Damai tapi resah, itulah gambaran umum Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Sungai Ciberang yang melintas di kecamatan itu masih mengalirkan airnya bagi warga. Berbagai kegiatan masyarakat seperti mandi, mencuci, dan mendulang air minum masih berlangsung tanpa gangguan. Sekelompok anak berenang, sementara warga lainnya memancing. Di bagian sungai yang dangkal beberapa warga mencuci angkot dan sepeda motor. Sementara para penambang pasir menggali dan mengangkut pasir ke sampan kayu mereka.

Suasana seperti tadi pada masa mendatang mungkin akan lenyap. Bahkan tempat mencuci dan mandi warga bisa jadi berubah menjadi kolam raksasa. Itulah Waduk Karian, sebuah proyek mega yang akan menenggelamkan kecamatan Sajira di Kabupaten Lebak. Sungai Ciberang yang memiliki lebar 40 hingga 50 meter dan kedalaman antara 1 sampai 20 meter menjadi pendukung utama waduk yang akan dibangun. Sajira
adalah wilayah terluas yang terkena dampak proyek Waduk Karian dengan delapan desa yang akan ditenggelamkan. Tiga kecamatan lainnya masing-masing “menyumbang” satu desa untuk pembangunan Waduk Karian.

Rencana pembangunan Waduk Karian sudah dinyatakan oleh Gubernur Propinsi Banten Ratu Atut Chosiyah. Dalam acara syukuran kemenangan pasangan Atut-Masduki awal april 2007 di kantor Bupati Lebak, Gubernur
Banten menyatakan pembangunan Waduk Karian senilai tiga Triliun akan merelokasi 11 desa dan 4 kecamatan di Kabupaten Lebak. Waduk yang direncanakan sejak 1980 ini diharapkan akan rampung pada akhir 2010.

“Insya Allah Waduk Karian di Kabupaten Lebak sudah dapat diresmikan penggunaannya pada 2011. Selain akan menjadi penyedia air untuk wilayah Banten dan DKI Jakarta, keberadaan waduk ini bisa mengatasi
masalah banjir yang kerap melanda Banten dan ibukota,” ujar Atut seperti dikutip Sinar Harapan. Kawasan yang akan memperoleh prioritas suplai air baku ialah Kabupaten Tangerang, Serang, Cilegon, mungkin
termasuk Jakarta. Selain itu, Waduk Karian dibangun untuk mengendalikan banjir di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciujung propinsi Banten.

Senada dengan Gubernur Banten, Bupati Lebak Mulyadi Jayabaya, meyakini dampak positif Waduk Karian bagi warganya, termasuk bagi peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar waduk. Mulyadi meminta aparat pemerintah dan warga agar tidak terlibat percaloan dan mewaspadai kehadiran calo tanah yang bisa mengganggu rencana pembangunan.

“Kepada para camat, jika terbukti terlibat percaloan tanah akan saya tindak tegas. Proyek Waduk Karian ini harus sukses demi kemajuan Kabupaten Lebak,” tegas sang Bupati. Mulyadi menjelaskan, warga yang berada di empat kecamatan telah siap dipindahkan kapan saja. Yakni Kecamatan Sajira, Muncang, Cimarga dan Rangkasbitung. Adapun sebelas desa yang warganya akan direlokasi mencakup desa Sukarame, Sukajaya,
Sajira, Sajira Mekar, Tambak, Pajagan, Pasir Tanjung, Mekarsari, Sindangsari, Calung Bungur, dan Sindang Mulya. Bupati Lebak menuturkan, saat ini pembangunan waduk sudah memasuki persiapan pembebasan lahan seluas 1.740 hektar, dengan perincian 1200 hektar berupa pemukiman warga dan 540 hektar merupakan areal pesawahan dan perkebunan.

Proyek Mega Minim Cerita
Rencana di atas kertas ternyata berbeda dengan kondisi di lapangan. Sederet persoalan ternyata masih muncul di sana-sini. Pertama masalah sosialisasi proyek ke lapisan warga terbawah yang sangat minim. Kedua, skema ganti rugi tanah warga yang belum disepakati secara bulat.

Ketiga maraknya percaloan tanah membuat warga resah dan tidak mudah mengambil keputusan. Keempat bentuk kompensasi dari pemerintah terhadap warga korban relokasi masih belum jelas komitmen maupun
jumlahnya.

Tokoh masyarakat Kecamatan Sajira, Haji Samsu (74) mengaku mengetahui rencana pembangunan Waduk Karian dari media massa. “Saya tahunya dari surat kabar. Sejauh ini saya belum pernah ikut acara sosialisasi.
Disini belum pernah ada kegiatan sosialisasi dari pemerintah untuk pembangunan Waduk Karian,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Rubama SE, warga Desa Sukajaya Kecamatan Sajira. Dikatakan, sejauh ini dirinya belum pernah mengikuti sosialisasi terkait rencana pembangunan proyek mega itu. “Saya belum pernah mengikuti kegiatan sosialisasi apapun. Padahal katanya waktu sosialisasi sudah lewat, dan sekarang sudah memasuki kegiatan inventarisasi lahan yang akan terkena pembangunan Waduk. Ini yang kita sesalkan,” ujar Rubama yang juga pengusaha pemilik CV Banten Purnama.

Menanggapi keresahan warga, Kepala Desa Sukarame, Haji Adlani (31) buka suara. Kades yang baru terpilih itu mengaku bingung mengingat posisinya sebagai wakil pemerintah dan pimpinan masyarakat. “Disini
belum apa-apa, sosialisasi belum ada. Calo tanah juga belum kelihatan. Yang ada omongan orang-orang. Warga mulai resah, gimana katanya pak desa. Saya juga bingung, masalahnya saya baru terpilih,” kata Adlani
saat ditemui Suara Publik di kantor Desa.

Berbeda dengan warga desa Sukarame dan Sukajaya, Kepala Desa Sajira, Ade Citra Wahyu (38) mengatakan sosialisasi proyek Karian pernah dilakukan di desanya, “Sudah pernah satu kali oleh pemda dan Balai
Besar Cidanau-Ciujung-Ciduran. Tapi hasilnya kurang efektif, karena hanya dilakukan dengan model satu arah,” ujar Ade. Maksudnya, sosialisasi itu hanya pihak pemerintah saja yang berbicara di forum, sementara warga hanya mendengarkan saja.

“Itu seperti tahapan pengenalan manfaat bendungan. Modelnya sosialisasi satu arah, tidak ada diskusi,” imbuh Pak Kades Sajira. Karena itu, Ade Citra mengharapkan agar Pemerintah Lebak dan pihak pengelola proyek Waduk Karian kembali mengadakan sosialiasi secara lebih detil dan lengkap. “Misalnya bukan saja sisi manfaatnya yang dijelaskan. Tapi juga dampak negatif yang ditimbulkan dari pembangunan waduk, supaya masyarakat siap. Bagaimanapun masyarakat sendiri yang merasakan dampaknya secara langsung.”

Ketidakjelasan itu pula yang belakangan ini dimanfaatkan para calo tanah. Mereka berjumlah puluhan dan biasanya berkeliaran dari rumah ke rumah warga, seperti di desa Sukajaya. Banyak dari mereka seolah-olah
seperti membantu, tetapi lebih sering meresahkan.

“Kami bingung, kadang percaya kepada omongan calo-calo itu. Sebab mereka didampingi aparat pemerintah. Ada yang pakai seragam pemda, ada yang datang sendiri. Katanya, kami harus pindah dari sini. Kalau tidak, kami akan ditenggelamkan tanpa ganti rugi,” tutur Syakur, 33, warga Sukajaya. Syakur, menambahkan, para calo itu menawar tanah warga seharga Rp 2.500 sampai Rp 3.000 per meter persegi. Padahal harga pasaran tanah di daerah itu Rp 6.000 sampai Rp 9.000. Sejumlah warga mengaku sejak sebulan terakhir, didatangi para calo sambil meminta Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) milik warga.

“Beberapa orang warga sudah menyerahkan SPPT Pajak sebagai bukti kesepakatan jual-beli tanah. Tapi sudah satu bulan uangnya belum turun. Katanya menunggu dana turun dari pemerintah. Itu benar enggak sih?” tanya Syakur. Sementara itu di lokasi bakal genangan telah terpasang sejumlah patok bertuliskan BPN (Badan Pertanahan Nasional). Patok hijau adalah tanda pembatas daerah yang tergenang air. Sedangkan patok merah sebagai kawasan lokasi pemindahan warga yang terendam air waduk.

Operasi pembebasan lahan di Kecamatan Sajira tampaknya sudah tiba. Lalu siapa mau menjawab keresahan warga? (Oleh: Marwan Azis/Eko Maryadi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *