Jejak Anoa di Cadas Osu Mosembo

Jelajah Satwa
Jarum jam baru menunjukkan pukul 6.00 Wita, matahari belum menampakan wajahnya dari peraduannya, rerumputan hijau tampak basah di pelataran Mahacala Universitas Haluoleo (UNHHALU) Kendari.

Suasana markas organisasi pencinta alam tertua di Sulawesi Tenggara itu tak seperti biasanya. Pagi-pagi sekali sejumlah anggota Mahacala yang masuk dalam tim ekspedisi perintisan Cadas Osu Mosembu sudah sibuk menyiapkan segala kebutuhan yang diperlukan selama ekspedisi berlangsung.
Usai melengkapi dan mengecek semua peralatan, tim ekspedisi berfoto dan berdoa bersama anggota Mahacala lainya di depan sekretariat Mahacala demi keselamatan tim selama melakukan ekspedisi. Pengurus dan anggota Mahacala yang ikut dalam ekspedisi kali ini yaitu Jamaludin, Kiding, Akbar, Nuriadi Meronda, Yusuf dan Berni.
Selanjutnya tim berangkat menuju Kabupaten Kolaka dengan menggunakan mobil angkutan dari terminal Puwato Kendari-Kolaka. Setelah menempuh kurang lebih 4 jam perjalanan, akhirnya mereka tiba diterminal kota peraih Adipura itu.
Tim kemudian, mereka langsung menyambung perjalanan dari terminal Kolaka menuju Desa Tinukari dengan menggunakan mobil rute Kolaka-Kolusua Kabupaten Kolaka Utara. Ditengah perjalanan menuju Desa Tinukari tim ekspedisi sempat beristirahat diperbatasan Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Kolaka Utara tepatnya dipermandian sungai tamborasi. Merupakan sungai terpendek di dunia yang hanya memiliki panjang 25 meter sambil menikmati matahari tenggelam di laut.
Tepat pukul 18.05 Wita tim tiba di Deqa Tinukari, mereka disambut dengan hangat Pak Kepala Desa beserta istirinya yang kebetulan lagi bersantai di depan rumahnya. Tinukari merupakan salah satu perkampungan masyarakat berada disekitar kawasan daratan pegunungan tinggi Sulawesi Tenggara tepatnya di Kecamatan Rante Angin Kabupaten Kolaka. Setelah melapor, 2 orang anggota tim melanjutkan perjalanan ke Lasusua Kota Kabupaten Kolaka Utara guna mengurus izin dari Polres Kolaka Utara dan Kesbang serta Linmas Kolaka Utara, sementara Adi yang tinggal ditugaskan mengecek kesehatan tim.
Perkampungan Tinukari memiliki aliran suncai sarta panorama alam yang memikat sungai sangat panjang, termasuk percabangan sungai yang dipilih menjadi titik awal pendakian masuk dalam wilayah Desa Tinukari. Sungai ini sangat cocok sebagai arena arung jeram.
Jarak tempuh bisa dicapai sekitar 2 jam perjalanan dengan menggunakan jasa pransportasi dari kota Kolaka-Rante Angin Kabupaten Kolaka Utara dengan tarif Rp 30.000 perorang. Mata pencaharian warga Tinukari sebagian besar sebagai petani, pedagang dan perotan.
Sepanjang jalan menuju titik awal pendakian, tampak hamparan kebun kakao (coklat) milik penduduk setempat. Setelah melewati kebun coklat, tim ekspedisi harus melakukan penyeberangan basah. Untungnya saat itu, debit air sungai lagi turun sehingga mereka tak menghadapi kesulitan yang berarti.
”Tali karmantel yang semula ingin digunakan sebagai tali transport untuk penyeberangan karena berdasarkan survey ada beberapa tempat yang memiliki arus deras dan dalam. Namun peralatan itu tak jadi digunakan karena pada saat itu debit air sungai menurun,”kata Nuryadin Meronda saat bercerita tentang kegiatan ekspedisi yang mereka lakukan. 
Pukul 18.00 Wita tim tiba di titik awal pendakian, dengan membidik titik ketinggian 654 meter dari permukaan laut (dlp), tim mendapatkan back Azimut 77 derajat. Sudut kedua yaitu 262 derajat dengan titik ketinggian 654 meter dpl. Setelah mengormed, mereka langsung membuat bivack sambil mempersiapkan makan malam. Sementara Adi tak lupa mengecek kesehatan anggota tim.
Hasilnya hampir semua anggota tim ekspedisi mengalami luka ringan karena medan yang dihadapi cukup berat, pada umumnya mereka luka bagian kaki. Selanjutnya mereka briefing, mengevaluasi kegiatan tim dalam sehari dan merencanakan kegiatan untuk esok hari. Sekitar pukul 21.30 setelah usai briefing, seluruh anggota tim beristrihat sejenak. Terlelap.
Esok harinya, alarm jam berbunyi menunjukkan pukul 05.00 pagi, meski dingin sangat terasa masuk kedalam sum-sum tulang pada subuh harinya di titik awal pendakian. Namun tak menjadi halangan bagi seluruh tim tetap bangun tepat waktu untuk mempersiapkan operasi hari kedua. 
Tim kemudian berkumpul dan membuat lingkaran lalu melakukan olah raga dan sebagian tim menyiapkan sarapan pagi. Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan berhari-hari menyusuri hutan yang terjal dan berbukit dengan duri rotan membuat tim harus serba hati-hati agar tidak tertusuk duri rotan. Sesekali mereka juga istrahat disejumlah tempat.
Tak melulu rintangan yang mereka dapatkan. Ditengah perjalanan tim Ekspedisi Pendakian Rintisan Cadas Osu Mosembo 2091 meter dari permukaan laut (Dpl) disugguhi panorama alam yang sungguh mempesona dan kebanyakan bebatuan besar yang menjulang kelangit.
Selain itu, tim ekspedisi juga menemukan gua yang disampingnya terdapat tebing cukup tinggi, sehingga dibutuhkan kehati-hatian dalam melangkah. Tim juga melewati celah tebing dan tembus disuatu daerah yang sangat fantastis.
Tempat itu tersembunyi karena dikelilingi oleh tiga tebing yang cukup tinggi. Saat itu jam tangan menunjukkan pukul 12.20, akhirnya seluruh anggota tim sepakat beristirahat sambil makan siang. Selanjutkan mereka melanjutkan perjalanan tak terasa matahari mulai tenggelam dan langit pun perlahan mulai gelap mendorong tim mencari lokasi yang tepat untuk dijadikan base camp ditinggian 1600 meter dari permukaan laut.
Di ketinggian tersebut suhu sangat dingin, walaupun saat itu baru menunjukkan pukul 18.00 Wita, kayu yang diharapkan bisa menjadi bahan bakar penghangat ditengah hawa dingin dan juga dipakai bahan bakar untuk memasak. Namun saat itu hampir semua kayu diselumuti lumut yang basah sehingga terpaksa tim hanya menggunakan bahan bakar spritus, itu pun tidak bisa menyala maksimal.
Tanah yang dilewati sudah tertutup dengan daun-daun yang gugur dan kering serta ditutupi lumut yang cukup tebal. Sepanjang perjalanan, kotoran anoa baik yang sudah lama maupun yang baru saja ditinggalkan oleh satwa endemik Sulawesi itu makin sering ditemukan. Ini memberi pertanda bahwa anoa, areal tersebut merupakan habitat anoa yang mesti dilestarikan.
Dalam ekspedisi tersebut, tim melewati jalur yang cukup sulit karena harus mendaki dengan kemiringan cukup terjal. Tak hanya itu kabut juga datang menghalangi tim dan sesekali bila kabut pergi tampak dari kejauhan puncak Mosembo mulai terlihat dan memungkinkan tim melakukan ormed. Hampir sepanjang malam hingga pagi hari di Flying Camp V, angin bertiup sangat kencang seolah-olah pohon terbawa terbang. Maklum berada pada ketinggian. Kejadian itu menginspirasi tim ekspedisi Mahacala Unhalu untuk menamakan puncak tersebut sebagai Puncak Kerajaan Angin.
Perjalanan keesokan harinya, setelah menempuh 2 jam perjalanan, tim ekspedisi tiba pada ketinggian yang diasumsikan sebagai puncak Osu Mosembu. Tapi masih diragukan karena tempat tersebut cukup luas, rata serta tertutup, tim sepakat melakukan ormed dan berpencar mencari titik ketinggian yang lain. Hasilnya ternyata anggota tim tak ada lagi ketinggian yang lebih tinggi dari tempat tersebut.”Jadi tim sepakat menyatakan itulah puncak Osu Mosembo. Dugaan ini diperkuat dengan hasil GPS yang dibawa,”ungkap Adi. Puncak Osu Mosembo berada pada ketinggian 2091 meter dari permukaan laut.
Dengan perasaan bangga dan terharu lanjut mahasiswa jurusan Teknik Unhalu ini, tim kemudian langsung memasang spanduk sebagai tanda bahwa disitulah puncak tertinggi puncak Osu Mosembo dan dilanjutkan dengan berdoa bersama sebagai tanda syukur pada Sang Halik. Tak lupa juga mengabdikan tempat dan keberhasilan operasi ekspedisi dengan foto bersama.
Kaya Keaneragaman Hayati
Kawasan Cadas Osu Mosembo selain memiliki panorama alam yang indah serta memiliki sejumlah gua-gua dan tebing. Daerah itu juga akan kaya berbagai keaneragaman hayati bahkan menjadi habitat berbagai satwa endemik Sulawesi
Berdasarkan laporan penulusuran tim ekspedisi Mahacala Unhalu ditemukan sejumlah flora dan fauna ditengah perjalanan menuju puncak Mosembo antara lain tanaman rotan pada ketinggian 200-1900 meter dpl, pandan hutan (250-1900 meter), bunga derdoa (500-1400 meter), bunga anggrek (1000 meter), kantung semar (1000 meter) dan pohon-pohon yang berukuran besar dan diselimuti lumut (1600 hingga 2091 meter dpl).
Sedangkan jenis fauna yang berhasil diindentifikasi antara lain, kodok, pacet, burung nuri, burung elang, semut hitam dan ular hitam. Mereka juga menemukan jejak Anoa berupa kotoran anoa. Anoa merupakan salah satu satwa endemik Sulawesi. 
Kotoran Anoa. Foto KPA Garis PalopoKotoran Anoa. Foto KPA Garis Palopo
Keterangan : Kotoran Anoa. Foto : KPA Garis Palopo.
Populasi satwa yang menjadi maskot Sulawesi Tenggara ini menurut Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara, La Ode Ndoloma sebagaimana yang dikutip Harian Sinar Harapan beberapa waktu lalu, populasi anoa yang awal tahun 1990-an masih tahun tersisa sekitar 4000-an ekor, namun kini hanya tersisa sekitar 30 persen atau 1200-an dari 4000-an ekor.
”Mestinya di era otonomi ini, satwa dilindungi di kawasan taman nasional Rawa Aopa Watumohai makin aman dari perburuan liar, karena arealnya sudah mencakup empat kabupaten yakni Kabupaten Kolaka, Bombana, Konawe dan Konawe Selatan. 
Namun kenyataannya perburuan satwa liar ini kian menjadi-jadi,”ujarnya dengan nada miris.
Sementara berdasarkan hasil penelitian Abdul Haris Mustari dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang pernah melakukan penelitian di Kawasan Marga Satwa Tanjung Peropa sekitar tahun 2000-2003 melaporkan, populasi anoa (dengan hitungan luas 38.927 hektar dan kepadatanya 0,9 ekor/m2) masih sekitar 350 ekor.
Namun heranya hewan ini tetap saja sulit ditemui, kecuali jejak anoa berupa kotoran anoa seperti yang ditemukan tim ekspedisi Mahacala Unhalu saat melakukan penyelusuran di puncak Osu Masembo. (Marwan Azis).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *