Jelajah Tangkahan, Foto : dok SIEJ. |
Melancong ke Tangkahan sungguh pengalaman yang sangat menyenangkan, karena di sini kita bisa menyusuri hutan tropis dengan menggunakan gajah sembari menikmati panorama alam dan sejuknya Taman Nasional Gunung Leuser.
Ini kali pertama saya menunggangi gajah yang membawa saya dan teman-teman jurnalis dari berbagai media menyusuri Taman Nasional Gunung Leuser.
Gajah-gajah tersebut sehari-hari sebenarnya bertugas untuk berkeliling menjaga hutan dari berbagai ancaman praktek pembalakan liar.
Untuk mencapai Tangkahan, dibutuhkan sekitar 3-4 jam perjalanan dari kota Medan, bisa ditempuh dengan mobil pribadi atau naik bis Pembangunan Semesta dari terminal Pinang Baris, Medan. Sepanjang perjalanan dipenuhi pemandangan pohon kelapa sawit, dengan sebagian kondisi jalan masih rusak. Wilayah Tangkahan sendiri merupakan salah site kerja Balai Taman Gunung Leuser.
Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) membentang didua provinsi yakni Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darusalam, dapat dicapai dengan menempuh perjalanan sekitar 3 jam dari Kota Medan dengan menggunakan kendaraan roda empat dengan menyusuri jalan perkebunan kelapa sawit dan karet milik PT Perkebunan Nusatara II.
Kondisi topografi pintu gerbang TNGL yang berlembah membuat mobil tidak bisa sampai di lokasi base camp TNGL, kendaraan terpaksa dipakir di posko Tangkahan Simaler Ranger yang merupakan gerbang kawasan TNGL. Namun sebelum berkunjung ke kawasan ini sebaiknya berkoordinasi dengan pihak pengelola TNGL.
Selanjutnya pengunjung harus berjalan kaki kurang lebih 1 km dengan menuruni lembah dan menyeberangi sungai dengan menggunakan rakit dipandu oleh salah seorang anggota Community Tour Operator (CTO) Tangkahan.
Jika memasuki kawasan ini pada malam hari di sepanjang jalan terdengar suara burung hantu serta gemercik aliran sungai yang memecah keheningan malam. Namun tak usah kuatir karena sepanjang jalan dipasang lampu obor yang dibuat dari bambu yang senjaga disiapkan pihak pengelola Taman Nasioanal Gunung Leuser.
Tak hanya itu kita juga diiringi suara jangkrik sang penghias malam. Kendati cuaca dingin menusuk hingga ke sum-sum tulang tapi menjadi nikmat bagi siapa pun yang suka dengan dunia petualangan (adventure).
Pada siang hari ketika menyusuri jalan setapak, kita akan menyaksikan perkampungan penduduk asli yang telah lama mendiami kawasan tersebut, warga selalu ramah menyambut siapa saja yang berkunjung sepanjang tak mengusik lingkungan yang memang dilarang untuk dirusak.
Warga Medan khususnya berdomisili disekitar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) patut bersyukur karena dikarunia kekayaan dan panorama alam yang tak ada taranya di dunia. Keberadaan hutan Gunung Leuser yang masih tampak ‘’perawan’’ dengan segala flora faunanya memikat para pelancong dan peniliti dunia untuk datang ke laboratorium alam itu.
Leuser ditetapkan oleh UNESCO sebagai Biosphere Reserve atau Cagar Biosfer atas usulan pemerintah Indonesia pada tahun 1981. Kemudian pengakuan tersebut berlanjut dengan ditetapkannya TNGL sebagai Tripocal Rainforest Heritage of Sumatera bersama-sama TN Kerinci Seblat dan Bukit Barisan Selatan pada tahun 2004.
Dunia mengakui keunggulan kawasan TNGL yang luasnya lebih dari 1 juta hektar, bahkan menjadikannya sebagai “laboratorium alam”. Leuser juga menjadi surganya para peneliti dan pelancong, baik dari mancanegara maupun domestik.
MacKinnon, peneliti lingkungan berkelas internasional pernah mengatakan, Leuser mendapatkan skor tertinggi untuk kontribusi konservasi di seluruh kawasan Indo Malaya. Leuser merupakan tempat habitat sebagian besar fauna mulai dari mamalia, burung, reptil, amfibia, ikan, dan avertebrata. Ada 350 species burung dari 380 yang ada dan 36 dari 50 species burung endemic “sundaland” yang menjadikan Leuser sebagai rumahnya.
Ekosistem Leuser juga merupakan habitat fauna kunci seperti gajah Sumatera (elephas maxsimus sumaterae), badak Sumatera (dicerorhinus sumateraensis), dan orang utan Sumatera (pongo obelii). Selain itu ada owa (hylobateslar), kedih (presbytis thomasi) dan fauna lainnya. Selain sebagai rumah fauna, di TNGL juga ada 4.000 species flora dan 3 jenis dari 15 jenis tumbuhan parasit rafflesia serta ada tumbuhan obat (brimacombe dan elliot, 1996).
Sebagai laboratorium alam, para peneliti datang silih berganti melakukan penelitian, baik tentang faunanya maupun keragaman floranya. Stasiun Riset Orangutan di Katombe Kabupaten Aceh, yang juga masih termasuk ranah dari kawasan TNGL merupakan salah satu stasiun riset tertua yang dibuka tahun 1971 oleh Dr Herman D.Rijksen, hingga saat ini tetap menjadi lokasi yang menarik minat para peneliti baik dari domestik maupun manca negara. “Setiap tahunnya jumlah pengunjung meningkat,” kata Sugeng salah aktivis pencinta alam yang belakangan ini menjadi voluenter kegiatan ekowisata di TNGL.
Pelancong dapat menikmati indahnya alam dan merasakan kesejukan udara dan kesegaran air sungai dan air terjun yang belum tercemar dan terkena polusi. Tak hanya itu dilokasi ini terdapat pula satu objek wisata yang bisa dinikmati berupa air panas alami.
Beberapa pilihan kegiatan yang bisa dilakukan pengunjung diantaranya Scubing atau dikenal sebagai salah olaraga air yang menggunakan ban bekas bisa menjadi pilihan untuk menguji derasnya dan sejuknya air sungai, dan jika ingin menyusuri hutan dan menyeberangi sungai, kita bisa menggunakan gajah Tangkahan yang sudah jinak sebagai kendaraan patroli hutan dengan didampingi pawang gajah.
Kita ingin menikmati rimbunnya hutan Leuser dengan cara trackking melihat keanekaragaman flora dan fauna, gua serta panorama alam dari ketinggian Gunung Leuser sembari menghirup udara segar di pagi hari. Asik kan.!!! (Marwan Azis)